May 27, 2009

Empu Kolintang Indonesia.

Pada tanggal 16 September 2006 dicatat dalam rekor Muri bermain kolintang massal dengan 200 buah alat musik kolintang di Jakarta,tak lama kemudian rekor Muri bermain kolintang massal dengan 585 buah alat musik kolintang dipecahkan di Minahasa.

Untuk memecahkan rekor Muri tersebut bukan hal yang sulit bagi daerah asal alat musik kolintang yang tiap desanya minimal mempunyai satu set alat musik kolintang.

Seperti halnya 57 tahun yang lalu seorang bocah Petrus Kaseke dapat membuat kolintang pada usia 10 tahun,demikian pula rakyat minahasa tidak kesulitan membuat kolintang,apalagi ditunjang oleh faktor kemudahan untuk mendapatkan bahan baku kayu kolintang.
Kebanyakan pengrajin pengrajin kolintang di minahasa adalah pengrajin amatir,dimana alat musik kolintang di buat untuk di konsumsi group kolintang sendiri.

Petrus Kaseke,adalah pengrajin kolintang pertama yang memproduksi kolintang untuk tujuan komersial pada tahun 1964,sebagai mata pencaharian penunjang biaya hidupnya selama kuliah di UGM Jogjakarta.

Berbagai usaha dilakukan untuk membuat kolintangnya laku dan memuaskan konsumen,karena sebagai produsen kolintang pertama di Indonesia,pesaingnya bukan sesama pengrajin kolintang tetapi dengan alat musik lain yang bukan kolintang.

Pengembangan pertama adalah membuat wilayah nada (range) alat musik kolintang makin lebar dengan kata lain membuat not melody dengan nada setinggi mungkin dan membuat not bas kolintang mencapai nada yang serendah mungkin yang dapat dicapai oleh wilahan kolintang,dengan mencoba berbagai macam jenis kayu dan ukuran kayu wilahan(bagian atas yang di pukul).

Dari usaha pencariannya selama bertahun tahun mencoba berbagai jenis kayu ,mulai dari wilahan kayu kelapa,kayu aren,kayu wilahan sonokeling dan berbagai jenis kayu lainnya,akhirnya didapat kayu waru yang ideal untuk dijadikan wilahan kolintang.

Sekarang rentang wilayah nadanya sudah mendekati 6 oktaf(70 not),sebagai perbandingan rentang nada pada piano mendekati 8 oktaf(88 not).

Pengembangan kedua adalah membuat bunyi(resonansi)yang semakin baik,dengan pemilihan bahan maupun ukuran peti(resonator box)kolintang.Berbagai eksperimen dicoba dengan merubah rubah ukuran petinya,mulai dengan memanjangkan ,memendekan,meninggikan,menyekat bagian dalam peti,mengisi dengan bahan kedap suara dan usaha usaha lainnya.,sampai didapat ukuran peti yang ideal.Tidak berhenti sampai disitu,pemukul kolintang(sticks) dijadikan sasaran eksperimennya,dengan cara memanjangkan,memendekan,merampingkan,mencoba memasangkan bagian kepala(head stick),dengan aneka jenis karet dan variasi ketebalannya.Sama halnya dengan karet pemukul,karet alas wilahan yang asalnya terdiri dari rangkaian karet gelang,sudah dimodifikasi dengan karet kaca mobil yang lebih awet.

Pengembangan ketiga dengan membuat kolintang mudah di pindah pindahkan,dengan tanpa mengurangi kwalitas suara,dengan membuat kolintang lebih ringkas dengan sistim knockdown ,serta ukuran peti yang dibuat sedemikian rupa agar peti yang lebih kecil dapat dimasukkan kedalam peti yang lebih besar.Pemilihan jenis kayu yang lebih ringan dan ukuran peti yang disesuaikan dengan kendaraan angkutan juga merupakan pertimbangan,disamping asesories pelengkap seperti roda pada kaki kolintang dan handle untuk memudahkan mengangkat peti kolintang.

Pengembangan ke empat dengan membuat nada kolintang lebih akurat dan lebih stabil,dengan bantuan mesin oven kayu untuk penyesuaian kadar air yang mencapai kekeringan tertentu sehingga akurasi nadanya tidak mudah dipengaruhi cuaca.Untuk mendapatkan nada yang akurat selain dengan kepekaan telinga ,juga dibantu dengan alat tuner yang menggunakan sistim komputer.

Pengembangan kelima,membuat penampilan kolintang lebih bagus.Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan finishing yang bagus,dengan tidak sayang mengeluarkan biaya untuk kursus finishing.Sebetulnya ada banyak alternatif finishing alat musik ethnic asal minahasa ini,misalnya dengan finishing kayu batik,atau mengukir peti kolintang,tetapi Petrus Kaseke sampai saat ini lebih memilih finishing yang berkesan simple dan modern seperti pada finishing alat musik piano.

Pengembangan demi pengembangan terus dilakukan sepanjang waktu,bahkan sampai ke hal hal yang kelihatannya sepele,seperti penomoran nada pada wilahan kolintang,melamic wilahan kolintang,cover kolintang,serta sticker kolintang yang memudahkan Petrus Kaseke untuk mengenali kolintang produksinya saat “after sales servis” dan perbaikan alat musik kolintang.

Tantangan selanjutnya yang sedang diperjuangkan adalah membuat kolintang lebih mudah di tune(di stem/diselaraskan nadanya),sehingga pemain kolintang dapat menyelaraskan nada kolintang tanpa bantuan tenaga tuner khusus,seperti halnya menyetem guitar.Yang terjadi sekarang ini,diperlukan kombinasi seorang tukang kayu yang mempunyai tenaga kuat dan seorang pemusik yang mempunyai telinga peka untuk menyelaraskan nada.kolintang.

Harapannya yang besar adalah, membuat kolintang sebagai alat musik Indonesia yang dapat menyebar ke seluruh dunia sebagai alat musik yang popular seperti halnya guitar dan piano,dan dapat di produksi secara massal.Sebagai market leader,produk kolintang Petrus kaseke banyak ditiru oleh pengrajin pengrajin kolintang yang lain.Bahkan lucunya dikota Salatiga Jawa Tengah tempat Petrus Kaseke menetap,beberapa pengrajin kolintang juga menggunakan nama Petrus,bahkan tempat tinggal yang dahulu pernah dihuni Petrus Kaseke,disewa oleh pengrajin kolintang yang lain demi mendapatkan order nyasar.

Petrus Kaseke tidak terlalu memusingkan diri dengan hal hal persaingan usaha tersebut,yang penting terus berkarya mengembangkan kolintang dengan lebih baik.Dengan berjalannya waktu, beberapa pengrajin kolintang yang hanya ikut ikutan mulai gulung tikar atau banting usaha menjadi pengrajin meubel atau industri lainnya.Tak terasa waktu sudah berjalan 57 tahun,sejak Petrus Kaseke (67 th)pertama kali membuat alat musik kolintang,hingga sekarang masih belum berhenti mengembangkan kolintang dan bahkan belum pernah berpaling ke bidang usaha lainnya.Untuk kesetiaan keuletan,dedikasi yang tinggi terhadap pengembangan alat musik kolintang pantaslah kalau Petrus Kaseke dijuluki sebagai Empu Kolintang Indonesia.

Oleh: Markus SugiTgl 28 Mei 2009

Kolintang, alat musik Minahasa yang mendunia

Kolintang, alat musik Minahasa yang mendunia

Alat musik kolintang termasuk jenis instrument perkusi yang berasal dari Minahasa Sulawesi Utara.
Alat musik itu disebut kolintang karena apabila di pukul berbunyi : Tong-Ting –Tang.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemain yang duduk selonjor di lantai.dan dipukul pukul.
Fungsi kaki sebagai tumpuan bilah bilah kayu(wilahan/tuts) kemudian diganti dua potong batang pisang atau dua utas tali.
Konon penggunaan peti resonator sebagai pengganti batang pisang mulai di gunakan sesudah Pangeran Diponegoro di buang ke Menado (tahun 1830) yang membawa serta “gambang” gamelannya.

Penggunaan kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan rakyat Minahasa,yang biasanya dipakai dalam upacara upacara pemujaan arwah arwah para leluhur.
Dengan berkembangnya agama Kristen yang di bawa oleh misionaris misionaris Belanda,eksistensi kolintang yang merupakan bagian dari kepercayaan animisme menjadi demikian terdesak bahkan hampir punah,menghilang selama lebih dari 50 tahun.
Setelah perang Dunia II,kolintang muncul kembali dipelopori oleh Nelwan Katuuk, seniman tuna netra asal Minahasa bagian utara yang merangkai nada kolintang menurut skala diatonis.

Pada tahun 1952,di Minahasa bagian selatan (Ratahan) seorang anak berusia 10 tahun bernama Petrus Kaseke,terinspirasi membuat kolintang dengan dasar petunjuk orang orang tua yang pernah melihat kolintang dan dari mendengar suara musik kolintang yang di populerkan lewat siaran RRI Minahasa yang di mainkan oleh Nelwan Katuuk.
Sulitnya hubungan transportasi antara Minahasa bagian utara dengan Minahasa bagian selatan pada waktu itu tidak meluruhkan semangat putra pendeta Yohanes Kaseke dan almarhum Adelina Komalig untuk berkreasi tanpa melihat contoh, dengan bermodal potongan potongan kayu bakar yang diletakkan di atas dua batang pisang dan di tuning (stem) nada natural dengan rentang nada 1 oktaf.

Sebuah prestasi yang luar biasa jika pada tahun 1954 ,Petrus Kaseke yang kala itu masih terbilang bocah mampu membuat kolintang dua setengah oktaf nada diatonis dengan peti resonator.Kemampuannya terus terasah dan berkembang,terbukti pada tahun 1960 berhasil meningkatkan rentang nada menjadi tiga setengah oktaf yang dimainkan oleh dua orang pada satu alat.

Bersamaan dengan bea siswa dari Bupati Minahasa untuk meneruskan kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1962,suami dari Tjio Kioe Giok terus mengembangkan alat musik kolintang dengan mengganti jenis jenis kayu wilahan yang ada di Minahasa seperti kayu Telur,Bandaran,Wenang ,Kakinik dengan kayu yang ada di pulau Jawa yang menghasilkan kwalitas nada yang sama yaitu kayu Waru.
Kolintang mulai diproduksi secara komersial pada tahun 1964,sambil dipopulerkan melalui pentas pentas kolintang keliling Jawa Tengah ,Jawa Timur dan Jawa Barat,dengan membentuk kelompok musik

Waktu terus berlalu,usaha dari bapak dua anak Leufrand Kaseke dan Adelina Kaseke semakin berkembang.
Kelompok musik yang dibentuknya sudah pentas melanglang ke berbagai negara di dunia,
Mulai tahun 1972 hingga sekarang,ia tinggal Salatiga Jawa Tengah dan membangun usahanya,dimana bahan baku kolintang berupa kayu Waru mudah di dapatkan di sekitar Rawa Pening Salatiga.
Pemesanan dari luar negeri terus mengalir,antara lain dari Australia,China,Jepang,Korea,Hongkong,Swiss,Kanada,Jerman,Belanda,Amerika bahkan Negara Negara di Timur Tengah.
Hampir semua kedutaan besar Indonesia di dunia mengkoleksi alat musik kolintang buatan Petrus Kaseke.

Inovasi terus menerus dari Petrus Kaseke dan pengrajin kolintang lainnya sudah menempatkan kolintang setara dengan instrument musik moderen popular seperti gitar,biola ,piano,xylophone dan marimba.Sehingga agar dapat dikategorikan alat musik etnis tradisional, kolektor dan distributor alat musik etnis Asia dari Korea,harus memesan kolintang dengan desain yang khusus,yang lebih mengesankan kuno.
Jaman sekarang kolintang sudah merupakan alat musik yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia pada umumnya,dengan penyebarannya di sekolah sekolah,gereja dan perkumpulan lainnya,instansi instansi pemerintah juga seringnya festival festival dan lomba kolintang baik tingkat daerah maupun tingkat nasional ditambah pula era globalisasi dan internet membantu mempopulerkan kolintang keseluruh dunia.

( Markus Sugi)

Nusantara bermazmur