Oct 31, 2015

Karakteristik Kayu Bilahan Kolintang

Pada awal produksi Kolintang di pulau Jawa,Petrus Kaseke mengalami keterbatasan modal karena statusnya yang masih mahasiswa  di UGM Yogyakarta ,sehingga cara mendapatkan bahan baku kayu kolintang dengan menawarkan jasa memangkas segala jenis pohon secara gratis kepada pemilik pemilik rumah yang mempunyai pohon rindang  dan memanfaatkan hasil pangkasannya untuk membuat kolintang.

Dengan berkembangnya musik kolintang di pulau jawa, yang mempengaruhi penghasilan dari usaha kolintang, Petrus Kaseke mempunyai modal untuk mengadakan riset dan survey untuk memilih kayu yang ideal untuk dibuat bilahan kolintang.
Berbagai macam kayu dicoba untuk mendapatkan kayu bilahan kolintang yang ideal, selain kayu yang ada di pulau Jawa,Petrus Kaseke juga mencoba jenis jenis kayu dari luar pulau.

Khusus dari Minahasa bukan hanya kayunya, bahkan pengrajin pengrajinnya didatangkan ke Jawa tengah untuk membantu produksi.
Bersama pengrajin kolintang dan pemain kolintang Minahasa th80an

Beberapa kayu yang dicoba antara lain,kayu sono (Dalbergia/Rosewood)yang sering dipakai sebagai kayu bilahan marimba,kayu kelapa,kayu aren, kayu-kayu yang ada di Minahasa  antara lain kayu cempaka,bandaran,wenang(benuang),kayu tolor serta kayu Waru dari pulau Jawa.
Kesimpulan dari riset dan survey tersebut ,pada dasarnya semua kayu yang padat akan menghasilkan bunyi yang hampir sama , jadi tidak dapat dipilih kayu ideal untuk alat musik kolintang berdasarkan warna(ciri khas) suaranya.
Kayu yang berserat lurus,lebih mudah untuk dijadikan bilahan dan di laras (tuning/stem),dibanding dengan yang seratnya bengkok atau bermata kayu.Kayu yang lebih padat atau keras lebih mudah menghasilkan nada yang lebih tinggi.Warna suara selain ditentukan dari jenis kayu ,juga ditentukan oleh resonator dan bahan pemukulnya (mallet /sticks).

Dari kesimpulan di atas akhirnya ‘untuk produksi di pulau Jawa’ dipilih kayu Waru karena:
1)Dapat menghasilkan ambitus(rentang nada) yang lebar .
2)Tersedia bahannya untuk di produksi secara massal,karena kayu Waru juga merupakan jenis kayu bahan bangunan di Jawa Tengah.
3)Memenuhi standar persyaratan kekuatan dan keawetan kayu.
4)Tidak terlalu keras sehingga mudah dibentuk ,tetapi tidak terlalu lembek.
Sebetulnya hal yang lebih penting bukan jenis kayu,tetapi sebagai alat musik tentunya lebih ditekankan nada instrument tersebut agar selaras(tidak fals),dan supaya selaras nadanya harus di stem (tuning ) dengan benar.

Dalam kurun waktu 50 tahun memproduksi kolintang,sudah banyak alat musik yang dilaras (stem/tune) oleh Petrus kaseke,baik instrument musik yang baru dibuat maupun instrument yang di tuning ulang.

Dari pengalaman melaras ‘jutaan’ nada ,Petrus Kaseke memberikan tips untuk melaras (tuning)kolintang yang efisien dan efektif sebagai berikut:
1.Mengerti menggunakan alat Tuning (Tuner).
Pada masa belum ada tuner elektronik ,nada kolintang di laras dengan membandingkan (patokan) nada yang didengar dari garputala,sehingga diperlukan keahlian membandingkan nada dengan pendengaran.
Sekarang sudah ada tuner elektronik dan komputer yang memudahkan proses tuning, karena untuk melaras nadanya sudah menggunakan indra penglihatan ,yang melihat kesesuaian nada pada layar alat tuner,meskipun demikian sampai saat ini alat tuner yang ada dipasaran ‘belum sempurna untuk melaras kolintang’ dengan benar terutama untuk nada nada tinggi sehingga tidak dapat mempercayakan ketepatan laras nadanya dengan indra penglihatan saja ,masih diperlukan check ulang dengan indra pendengaran.
2.Memahami kondisi dan sumber kayu Bilahan Kolintang.
Untuk melaras nada kolintang harus mengetahui sumber bahan yang akan dilaras ,kalau kayunya masih berkadar air tinggi (diatas 15%),maka tidak lama nadanya akan berubah setelah kadar airnya menyesuaikan kondisi sekitarnya.Kalau kayu kolintangnya dari sumber yang berbeda,kemungkinan kadar airnya bervariasi yang menyebabkan perubahan nadanya tidak seragam.
3.Memperhitungkan kondisi saat menyetem kolintang (musim kemarau ,musim penghujan,atau lainnya).
Secara alamiah nada kolintang akan berubah ubah tergantung cuaca,pada musim kemarau nada akan naik dan pada musim penghujan nada akan turun.Perubahan nada karena cuaca berlaku untuk banyak alat musik (kecuali alat musik digital),bahkan produsen xylophone belum dapat menghasilkan instrument yang  stabil nadanya terhadap cuaca,meskipun sudah bereksperimen mengganti bilahannya dengan bahan sintetis.Disini kita harus menyiasati agar sesedikit mungkin bilahan yang dilaras karena perubahan cuaca,karena kalau terlalu sering dilaras selain membuang banyak energi ,bilahan kolintang akan habis mengingat cara melarasnya adalah memotong pendek atau menipiskan kayu bilahannya.
4.Menggunakan standar tuning A=440 dan A=442
Seperti yang kita ketahui standar tuning alat musik disesuaikan dengan frekwensi nada A=440 Hertz ,tetapi ada juga yang menggunakan standar frekwensi nada A=442 Hertz.Pada kenyataannya hanya telinga-telinga yang terlatih saja yang dapat membedakan selisih nada 2 Hertz tersebut.
Memperhatikan point-point diatas ,Petrus Kaseke melaras bilahan kolintang menggunakan  2 macam standar tuning yang disesuaikan dengan kondisi cuacanya contohnya pada musim kemarau dilaras dengan standar A=440 sehingga pada saat musim penghujan nada akan naik .
Dengan pemilihan sumber kayu dan kadar air yang sama,bilahan kolintang akan naik nadanya secara merata ,sehingga Petrus Kaseke hanya melaras beberapa bilahan-bilahan yang bandel.Dengan berjalannya waktu bilahan bilahan bandel tersebut sudah dapat menyesuaikan diri dengan cuaca sehingga semakin sedikit bilahan bilahan yang harus dilaras ulang karena kondisi cuaca yang berubah.

Strategi tuning di atas cukup efektif ,sebagai suatu bukti  Group Musik  Indonesian National Orchestra yang mana anggota-anggotanya menggunakan alat musik dari berbagai daerah di Indonesia ,menggunakan kolintang Petrus kaseke  sebagai patokan penyeragaman laras untuk alat alat musik yang lain,kalau nadanya fals dan tidak stabil tentu tidak dipercaya sebagai patokan.
@kolintang

No comments:

Post a Comment

Nusantara bermazmur