Apr 9, 2023

In memoriam Petrus Kaseke

Pelopor kolintang di Tanah Jawa Petrus Kaseke meninggal dan dimakamkan pada tanggal 17 Agustus 2022 di Bancaan Salatiga. Ia meninggal dalam usia 80 tahun setelah mengatakan kata perpisahan :” Sudah ya, saya mau istirahat.” di Rumah Sakit Telogorejo Semarang.

Tulisan ini untuk mengenang almarhum sebagai sosok pengajar musik, pemimpin paduan suara dan pejuang kolintang yang tetap berkarya sampai akhir hayatnya. Sebagai orang yang tinggal dengan beliau sejak kecil tentu memiliki banyak kenangan dan pelajaran yang diambil dari keteladanannya. Bagi saya Petrus Kaseke adalah guru sekaligus orang tua.

Petrus Kaseke lahir pada tanggal 2 oktober 1942 di Minahasa Sulawei Utara. Masa kecil Petrus Kaseke banyak berhubungan dengan musik dan lagu-lagu karena orangtuanya Yohanes Kaseke adalah seorang pendeta gereja Pantekosta.

Meskipun berasal dari keluarga ningrat karena kakek buyutnya yang bernama  Petrus Kaseke juga, menikah dengan putri raja Ratahan Dotu Maringka, tetapi bukan hal itu yang membanggakannya. Hal yang paling dibanggakan adalah kakeknya yang seorang tukang kayu yang diabadikan menjadi nama anak sulungnya yaitu Leufrand Kaseke. Sedangkan nama almarhum ibunya Adeline Komalig dikenang menjadi nama anak bungsunya Adeline Kaseke.

Petrus Kaseke adalah sosok perantau Minahasa yang mempunyai keterikatan kuat dengan budaya asalnya. Darah Minahasanya seolah-olah mengarahkan untuk menetap di kota Salatiga. Angka tiga dan kelipatannya adalah angka favorit suku Minahasa sejak jaman kuno. Secara kebetulan Salatiga berasal dari kata ‘sela tiga’ yang artinya tiga batu. Konsep tiga dan kelipatannya dipakai untuk mengembangkan kolintang. Tangga nada kolintang yang mula-mula almarhum ciptakan berupa 9 nada yaitu tangga nada diatonis (7 nada) ditambah  nada Bb ( satu mol menurut istilah beliau) dan nada F# ( satu kruis).

Sela tiga ini pula yang menjadi patokan penyelarasan nada dalam pedagogi kolintang Petrus Kaseke.

Seumur hidupnya hanya usaha Kolintang Angklung yang ditekuninya baik pada saat banyak permintaan untuk mensupply alat musik , maupun disaat resesi dan sepi order.

Dalam hal Angklung ,meskipun termasuk alat musik tradisional dari Jawa, tetapi Petrus Kaseke memberi sentuhan Minahasa. Angklung chord produksi Petrus Kaseke terlihat dari susunan tiga tabung yang menempatkan nada dasarnya di antara dua tabung lainnya yang dikenal sebagai chord pembalikan kedua, misalnya chord C dengan komposisi nada 5-1-3. Nada dasar di tengah mengikuti konsep leluhur Minahasa Toar yang dari kata Tuur atau batang utama yang merupakan pusat keseimbangan.

Aktifitas-aktifitas almarhum yang dilakukan di masa tuanya sebelum pandemi:

-Pemimpin paduan suara Angklung Kolintang di gereja Bethany Salatiga.

-Pengajar musik di sekolah Alkitab Magelang.

-Penasihat di Dewan Pengurus Daerah Pinkan (Persatuan Insan kolintang Nasional) Jawa Tengah.

Di akhir hayatnya almarhum masih aktif bermain kolintang bahkan bersama dengan cucu-cucunya mengikuti lomba virtual kolintang, kegiatan yang biasa dilakukan selama pandemi Covid.

Petrus Kaseke merupakan pengrajin kolintang yang produksinya banyak tersebar di nusantara bahkan  seluruh dunia. Tidak heran apabila pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan sertifikat penghargaan sebagai inisiator dan Tokoh Pengembangan Musik Kolintang di Tanah Jawa.

Petrus Kaseke kini telah meninggalkan kita. Saya bersyukur mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari almarhum dan bersama-sama menuangkan dalam buku yang unik tentang Kolintang Minahasa.

 

Oleh: Markus Soegiarto.

Penulis adalah pemain dan pengajar kolintang yang bersama dengan Petrus Kaseke mengarang buku Maimo Kumolintang.

 


Jan 12, 2023

Lumimuut antara mitos dan kenyataan

Cerita tentang asal-usul leluhur Minahasa, selalu jadi topik bahasan  yang menarik.

Sumber yang sering menjadi bahan rujukan adalah nyanyian Karema yang dinyanyikan pada upacara adat Minahasa oleh Walian (pendeta wanita).Kutipan syair yang diambil dari buku " Uit Onze Kolonien" tulisan.H.Van Kol. terbitan tahun 1903.dalam bahasa Tombulu " De Zang van Karema" tentang asal Lumimuut sebagai berikut:

SYAIR KE-SEPULUH:

Yah ongah u nuwuk’ku ing kumua wia ni sia
Wewe’an un Aoan nah-gio-gioan, ang kenap-sena’na
Ni itu ya tanu lalem-lalemdeman, wo tanu zuni-zuni’an
Ya wituma un Arina, Linengkaran niaku

Artinya:

Dengan jelas aku berkata kepada-nya
Ada bukit-bukit yang berhadap-hadapan, yang terang dengan cahaya
Tempat itu tampak seperti berkabut awan, dengan warna seperti pelangi
Di sanalah tempatnya, aku dilahirkan

SYAIR KE-SEBELAS:

U ngaran nei ketor um pusez ni Inaku-ku en WENGI
Yah si Ama’ku ka’uman, wen KAWENGIAN u ngaranan
Ni Sera se timau’ niaku, witu um bantang
Ni sera se nimayome niaku, witu u louz
Artinya:

Nama ketika tali pusar dipotong dari ibu adalah WENGI
Dan ayahku, bernama Kawengian
Mereka  yang memasukkan aku dalam perahu-rakit
Mereka , yang telah mengayunkan ke-laut.

Berdasarkan Syair ke-sebelas, ayah Lumimuut bernama Kawengian yang artinya ‘Bintang Sore’ maka menguatkan anggapan cerita leluhur Minahasa adalah mitos yang merujuk kepada ilmu astronomi kuno. Sistim Tata surya tentang Toar personifikasi Matahari dan Lumimuut personifikasi Bumi.

Untuk yang tertarik dengan keseimbangan alam semesta versi Minahasa dapat membaca buku Maimo Kumolintang Harmoni Semesta by Petrus Kaseke ( kolintang.co.id)

Berdasarkan Syair ke-sepuluh, tempat Lumimuut dilahirkan di antara dua bukit yang terang dengan cahaya.Tempat itu tampak seperti berkabut awan, dengan warna seperti pelangi.

Apakah tempat itu ada di bumi?

Dari jurnal:Phill. M. Sulu, Quo Vadis Tou Minahasa ? (Yogjakarta: Graha Cendikia, 2016)

Para ahli antropolog mengatakan bahwa nenek moyang orang Minahasa berasal dari daerah Mongolia Utara, hal ini disebabkan oleh banyak faktor penunjang dari hasil penelitian. Hasil paling mendukung mengenai hal ini adalah persamaan prototipe antara orang Mongol dan orang Minahasa antara lain, warna kulit yang kuning langsat, bentuk bahu yang kekar, mata yang agak cipit dan banyak bagian tubuh yang punya kemiripan serta hal yang menguatkan penelitian ini yakni, jejak sejarah migrasi bangsa Mongolia sesuai dengan letak geografis dan kondisi oceanagrafis. Legenda Toar Lumimuutpun sering dikaitkan dengan tanah asal usul orang Minahasa. Konon, nama Toar dan Lumimuut, memiliki kaitan dengan bahasa dan nama yang ada di Mongolia.



Hore!! Dengan kemajuan teknologi sekarang lebih mudah mencari lewat internet.Jadi tempat ini benar-benar ada bukan foto editan, fotographernya Svetlana Kazina orang Altai (Mongolia) juga sudah singgah ke Instagram @kolintang.
Melihat IGnya Svetlana Kazina, sesuai dengan yang di deskripsikan oleh Phill. M. Sulu.



Nov 27, 2022

Sitou Timou Tumou Tou

Sam Ratu langi adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal dengan filsafatnya : “Sitou timou tumou tou”.
Filsafat tersebut biasanya dijelaskan dalam kesatuan kalimat yang artinya : manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Budayawan Jessy Wenas (alm) pernah memberikan penjelasan lebih detail filsafat bahasa Tombulu tersebut dengan menggunakan contoh-contoh dalam bahasa Tombulu.

Saya mencoba menjelaskan dalam versi yang lebih dapat dipahami, dengan perbandingan bahasa daerah lain.
Filsafat tersebut hanya berasal dari satu kata “Tou” yang artinya “orang”, sebagai contoh Tondano artinya orang danau.
Ternyata kata tersebut juga menyebar sampai ke Sulawesi Selatan , contoh Toraja yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja .

Kata Tou tersebut diberi imbuhan berupa awalan si, sisipan in (im) dan sisipan um.
Imbuhan kata tersebut terdapat juga dalam bahasa daerah lain.
Contohnya : Kumambang yang dari bahasa Jawa dari kata kambang artinya mengambang atau terapung.
Gumantung yang dari bahasa Sunda artinya tetap tergantung dan contoh lain dalam bahasa Bali tumurun dari kata turun yang artinya menjelma.

Dua kata terakhir dari filsafat Sam Ratulangi “ Tumou” dan ”Tou”, lazimnya dalam bahasa Tombulu merupakan sebuah kata ulang “tumoutou” yang artinya berkembang,bertumbuh.
Kata tersebut terdapat dalam Nyanyian Karema yang menceritakan asal usul suku Minahasa , pada syair Lumimuut diberi bekal biji-bijian yang nantinya bertumbuh (Tumoutou).

Jadi aslinya filsafat tersebut berbunyi “Sitou timou tumotou” yang artinya adalah Si orang itu (Sitou) , sudah lahir/hidup (timou), hendaknya tetap hidup dan berkembang ( tumoutou).
Ironisnya dalam masyarakat Minahasa kuno ,untuk manusia tetap hidup dengan baik harus mengorbankan hidup manusia lainnya karena adanya kebiasaan mamuis ( potong kepala).
Pada saat itu untuk membangun sebuah rumah baru diadakan upacara menancapkan tiang utama yang memerlukan korban kepala manusia sebagai persyaratannya. Selain itu saat pemimpin suku Minahasa meninggal maka perlu mengorbankan kepala pengawalnya untuk menemani perpindahan ke alam baka.

Jejak-jejak kebiasaan tersebut dapat dilihat pada Waruga-waruga tertentu.
Apabila terdapat waruga-waruga kecil di dekat waruga besar , maka waruga kecil itu adalah tempat untuk mengubur kepala pengawalnya.
Waruga adalah kuburan batu di Minahasa yang kependekan dari kata Wale (balai/rumah) dan Raga (tubuh).

Pada jaman itu pemerintah Kolonial Belanda melarang profesi Head Hunter karena melanggar Hak azasi Manusia.
Sebagai ganti korban kepala manusia untuk upacara membangun rumah baru dan mengantar kematian seorang pemimpin Minahasa,dengan memotong kepala babi.
Pada awalnya larangan tersebut sulit untuk di taati masyarakat sepenuhnya.
Coba bayangkan pemimpin Minahasa yang berpindah ke alam baka dengan sebuah kawalan,apakah mau berubah menjadi “ Aku ini sigembala babi?”

Larangan pemerintah Kolonial Belanda yang disertai sanksi hukuman membuat kebiasaan mamuis berangsur-angsur punah, tetapi yang paling efektif adalah ajaran yang memberi pengertian kepada masyarakat Minahasa.

Sam Ratulangi dapat disebut melakukan gebrakan yang kreatif yaitu memenggal kata “tumoutou” menjadi dua bagian “tumou” dan “tou” sebagai ganti kebiasaan memenggal kepala.
Sehingga arti yang mudah dipahami dari “Sitou timou tumou tou” adalah Manusia dilahirkan untuk membuat manusia lain dapat hidup dengan baik.

Nusantara bermazmur