Oct 28, 2022

Kesan-kesan tentang om Petrus kaseke

Pertama kali mendengar tentang om Petrus Kaseke waktu saya umur 8 tahun di Tegal. Saat itu ayah saya mengatakan kalau tante akan menikah dengan orang Minahasa sambil dibumbui cerita kalau orang Minahasa mempunyai adat memenggal kepala orang.
Pada saat itu pernikahan beda suku masih jarang terjadi di lingkungan keluarga di Tegal. Om Petrus termasuk nekad karena berani melamar tante, datang ke Tegal tanpa ditemani keluarga dari Minahasa.
Om Petrus melamar tante dengan ditemani pdt JMP Batubara dengan modal status, sudah diterima bekerja beberapa bulan sebagai karyawan Universitas Satyawacana setelah beberapa lama bekerja serabutan tanpa gelar.

Statusnya sebagai keturunan ningrat di Ratahan tidak berlaku di kota Tegal. Menurut budayawan D.S Lumoindong kakek buyut om Petrus Kaseke yang juga bernama Petrus Kaseke adalah Hukum Tua (pemimpin Minahasa pada jaman dahulu) yang menikah dengan Putri Dotu Maringka. Dotu Maringka adalah raja Ratahan yang patungnya ada di pusat kota ratahan Minahasa Tenggara.

Setelah berkenalan sehari, om Petrus Kaseke mengatakan besok pagi akan mengantar saya ke sekolah SD Pius Tegal dan sebelumnya akan diajak jalan-jalan. Keesokan harinya saya di jemput jam 6 pagi dan dibonceng motor ke tempat yang pada saat itu sangat jarang dikunjungi di Tegal namanya Balongan. Meskipun bukan tempat yang biasa dikunjungi tetapi jalan-jalan itu cukup mengesankan dari situ awal kedekatan saya dengan om Petrus. Jam 7 pagi saya sudah di antar ke sekolah dengan tidak kekurangan sesuatu apapun.

Saya melanjutkan SMP di Salatiga menemani tante karena waktu itu mengkontrak di rumah tua yang besar dan banyak kamarnya. Rumah itu beralamat di jln Osamaliki 4 yang akhirnya terbeli dan ditinggali sampai sekarang. Keterkejutan berikutnya adalah dalam perbedaan bahasa, meskipun om Petrus sudah lama di Jawa tengah tetapi masih menggunakan istilah dalam bahasa Manado. Saya terkejut waktu om Petrus berkata :” bunuh itu”, untung akhirnya tante menjelaskan kalau saya diminta memadamkan lampu. Beberapa tahun kemudian Agus adik sepupu dari Tegal ikut menemani saya tinggal di Salatiga dan masuk SD Marsudirini. Agus waktu kecil termasuk anak yang bandel, jadi om Petrus mendidik lebih keras. Saya cukup dimarahi kalau berbuat kesalahan, tetapi Agus melawan kalau dimarahi sehingga om Petrus kaseke menghukumnya. Hukuman yang membuat saya ternganga adalah kalau melihat Agus dipegang kakinya dan diangkat dengan kepala dibawah. Waktu di Tegal saya sering menjantur jangrik supaya mau diadu kembali, tapi kalau menjantur orang adalah sesuatu yang belum pernah saya lihat. Hukuman tersebut untuk mendidik, sebetulnya tidak mencelakai hanya caranya yang kontroversial. Agus akhirnya mendapat jodoh orang Minahasa, sampai sekarang masih tinggal di Salatiga dan membuka warung makan gado-gado bu Agus yang cukup terkenal.

Setelah saya melanjutkan ke SMA Negeri Salatiga, kemudian Royke Komalig keponakan om Petrus dari Ratahan datang ke Salatiga dan sekolah di SMP Negeri. Setelah saya lulus dari universitas Trisakti Jakarta, Fani Gara dari Ratahan datang ke Salatiga dan oleh om Petrus di minta ke Jakarta untuk bersama saya membuka cabang usaha kolintang di Jakarta.

Om Petrus Kaseke datang seorang diri, tetapi sukses menggabungkan dua keluarga besar dari Minahasa dan dari Jawa tengah. Banyak pelajaran yang saya dapat dari om Petrus Kaseke , yang saya terima melalui nasihat langsung ataupun melalui teladan tindakannya. Om Petrus dan tante merupakan orang tua yang membesarkan saya dan menyekolahkan saya sampai selesai. Saya bersyukur memiliki 2 pasang orang tua yang membuat lebih mudah menjalani hidup.

Oct 24, 2022

Tangga nada asli Minahasa

Kolintang termasuk instrument yang sudah bergabung sejak awal terbentuknya INO (Indonesian National Orchestra) pada bulan Mei 2010.
Sesuai arahan pak Franki Raden, untuk membentuk orkestra tradisi yang sulit ditiru oleh orkestra Barat maka setiap anggota menunjukkan keunikan alat musiknya menggunakan tangga nada asli daerah asal.
Pada giliran kolintang, saya memainkan lagu-lagu popular Minahasa seperti Sipatokaan,dan Oinanikeke. Tetapi teman-teman musisi tradisi menanggapi kalau lagu yang saya mainkan adalah nada-nada diatonis khas musik Barat dan mereka mengusulkan memainkan lagu-lagu pentatonis supaya hilang kesan Baratnya.
Kemudian saya memainkan lagu Gundul-gundul Pacul lalu seorang teman menimpali itu dari Jawa, saya ganti dengan lagu Es Lilin tetapi diprotes teman yang lain kalau itu lagu daerah Sunda.
Aduh kasihan………
Kolintang dilarang dimainkan selama +/-100 tahun pada masa kolonialisme dan muncul kembali menjadi kolintang modern dengan tangga nada diatonis khas musik Barat.
Hal ini membuat lagu-lagu kuno Minahasa kurang populer dalam lingkup Nasional.

Setelah kejadian itu, pak Petrus kaseke menjelaskan kalau kata kolintang berasal dari susunan 3 bunyi yaitu Tong = nada rendah , Tang = nada tengah dan Ting= nada tinggi dan dikembangkan secara simetris dengan pusat di tengah.
Jadi kolintang membicarakan konsep bunyi, bukan tentang bahan logam, bambu atau kayu.
Hal ini serupa dengan pendapat budayawan Jessy Wenas bahwa tangga nada kolintang asli adalah tritonis, dengan contoh alat kentongan bambu (Tentengkoren) 3 bunyi yang dinamai Loway (anak), Ina (ibu ) dan Ama (ayah).
Pendapat tersebut dikuatkan lagi oleh lagu kuno Nyanyian Karema dalam upacara adat Minahasa menggunakan 3 nada atonal yang menceritakan asal usul suku Minahasa.
Menurut mitos suku Minahasa adalah keturunan Toar (dewa Matahari) dan Lumimuut (dewi Bumi).
Kolintang sudah ada sejak terbentuknya suku Minahasa karena keturunan pertama Toar dan Lumimuut adalah Tingkulengdeng yang ahli mengartikan suara burung, ahli bangunan merangkap dewa kolintang kayu.
Suara burung Manguni dipercaya sebagai petanda baik apabila bersiul sebanyak 1,3 atau 9 kali. Rumah adat Minahasa bertumpu pada Tuur ( batang tengah), atap berbentuk segitiga, bangunan yang simetris dan anak tangga yang berjumlah ganjil. Dengan memadukan aturan-aturan di atas kita dapat menyusun tangga nada asli Minahasa karena konsep kolintang yang holistik, tidak terbatas sebagai alat musik.
Yang menakjubkan, aturan tritonis berlipat dapat menyerap dengan mudah tangga nada dari luar Minahasa bahkan tangga nada diatonis.
Menurut Ensiklopedia Britannica, musik Barat berasal dari daerah sekitar laut Mediterania termasuk Mesir yang mempunyai dewa tertinggi Ra ( Dewa Matahari) yang mempunyai nama mirip dengan Toar (Dewa Matahari Minahasa).

Perkembangan tangga nada Minahasa setelah tritonis, adalah hexatonis (3x2) seperti yang terdapat dalam sket buku Ethnographisce Miszelen Minahasa Celebes. Meyer A.B and O. Richter, Museum Dresden 1902 dimana susunan nadanya 5,7,1,3,4 dan 6. Susunan nada Kolintang Gong tersebut dapat memainkan tangga nada pentatonis.
Pak Petrus Kaseke pada awal produksinya membuat kolintang dengan susunan Nonatonis (3x3) yaitu susunan nada diatonis ditambah nada 1 kruis dan 1 mol atau 1,2,3,4,4#,5,6,6#,7, sebelum berkembang menjadi susunan Kromatis (3x4).
https://id.wikipedia.org/wiki/Petrus_Kaseke.

Kembali ke topik awal, susunan nada apa yang saya gunakan untuk berkolaborasi dalam INO? Pak Franki Raden jarang memberikan partitur musik, jadi hanya mengatakan terserah tapi yang enak.
Saya paling trauma kalau mendengar kata terserah (apalagi kalau keluar dari mulut maitua), apapun yang dikerjakan sulit diprediksi benar atau tidaknya bahkan jadi serba salah. Untungnya saya ingat konsep bunyi Manguni Makatelu (3x) Makasiow (9x) sebagai petanda baik, jadi saya menggunakannya sebagai dasar tangga nada.
Apabila dipadukan dengan potongan lagu kuno Minahasa yang kerap dinyanyikan saat menari maengket, acara Mapalus dan mengambil nuansa lagu-lagu Makaaruyen yang menggugah rasa maka nadanya mirip dengan pola improvisasi Blues.
Sepertinya langkah ini bisa diterima, karena kemudian di INO muncul lagu dengan judul Blues for You.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Maimo Kumolintang
http://www.kolintang.co.id

Nusantara bermazmur