Nov 27, 2022

Sitou Timou Tumou Tou

Sam Ratu langi adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal dengan filsafatnya : “Sitou timou tumou tou”.
Filsafat tersebut biasanya dijelaskan dalam kesatuan kalimat yang artinya : manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Budayawan Jessy Wenas (alm) pernah memberikan penjelasan lebih detail filsafat bahasa Tombulu tersebut dengan menggunakan contoh-contoh dalam bahasa Tombulu.

Saya mencoba menjelaskan dalam versi yang lebih dapat dipahami, dengan perbandingan bahasa daerah lain.
Filsafat tersebut hanya berasal dari satu kata “Tou” yang artinya “orang”, sebagai contoh Tondano artinya orang danau.
Ternyata kata tersebut juga menyebar sampai ke Sulawesi Selatan , contoh Toraja yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja .

Kata Tou tersebut diberi imbuhan berupa awalan si, sisipan in (im) dan sisipan um.
Imbuhan kata tersebut terdapat juga dalam bahasa daerah lain.
Contohnya : Kumambang yang dari bahasa Jawa dari kata kambang artinya mengambang atau terapung.
Gumantung yang dari bahasa Sunda artinya tetap tergantung dan contoh lain dalam bahasa Bali tumurun dari kata turun yang artinya menjelma.

Dua kata terakhir dari filsafat Sam Ratulangi “ Tumou” dan ”Tou”, lazimnya dalam bahasa Tombulu merupakan sebuah kata ulang “tumoutou” yang artinya berkembang,bertumbuh.
Kata tersebut terdapat dalam Nyanyian Karema yang menceritakan asal usul suku Minahasa , pada syair Lumimuut diberi bekal biji-bijian yang nantinya bertumbuh (Tumoutou).

Jadi aslinya filsafat tersebut berbunyi “Sitou timou tumotou” yang artinya adalah Si orang itu (Sitou) , sudah lahir/hidup (timou), hendaknya tetap hidup dan berkembang ( tumoutou).
Ironisnya dalam masyarakat Minahasa kuno ,untuk manusia tetap hidup dengan baik harus mengorbankan hidup manusia lainnya karena adanya kebiasaan mamuis ( potong kepala).
Pada saat itu untuk membangun sebuah rumah baru diadakan upacara menancapkan tiang utama yang memerlukan korban kepala manusia sebagai persyaratannya. Selain itu saat pemimpin suku Minahasa meninggal maka perlu mengorbankan kepala pengawalnya untuk menemani perpindahan ke alam baka.

Jejak-jejak kebiasaan tersebut dapat dilihat pada Waruga-waruga tertentu.
Apabila terdapat waruga-waruga kecil di dekat waruga besar , maka waruga kecil itu adalah tempat untuk mengubur kepala pengawalnya.
Waruga adalah kuburan batu di Minahasa yang kependekan dari kata Wale (balai/rumah) dan Raga (tubuh).

Pada jaman itu pemerintah Kolonial Belanda melarang profesi Head Hunter karena melanggar Hak azasi Manusia.
Sebagai ganti korban kepala manusia untuk upacara membangun rumah baru dan mengantar kematian seorang pemimpin Minahasa,dengan memotong kepala babi.
Pada awalnya larangan tersebut sulit untuk di taati masyarakat sepenuhnya.
Coba bayangkan pemimpin Minahasa yang berpindah ke alam baka dengan sebuah kawalan,apakah mau berubah menjadi “ Aku ini sigembala babi?”

Larangan pemerintah Kolonial Belanda yang disertai sanksi hukuman membuat kebiasaan mamuis berangsur-angsur punah, tetapi yang paling efektif adalah ajaran yang memberi pengertian kepada masyarakat Minahasa.

Sam Ratulangi dapat disebut melakukan gebrakan yang kreatif yaitu memenggal kata “tumoutou” menjadi dua bagian “tumou” dan “tou” sebagai ganti kebiasaan memenggal kepala.
Sehingga arti yang mudah dipahami dari “Sitou timou tumou tou” adalah Manusia dilahirkan untuk membuat manusia lain dapat hidup dengan baik.

No comments:

Post a Comment

Nusantara bermazmur