May 23, 2012

Angklung

Angklung adalah alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu, cara memainkannya digoyangkan serta digetarkan oleh tangan, alat musik ini
telah lama dikenal di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sejarah Angklung sangat erat kaitannya dengan seni karawitan sebagai media upacara penghubung antara manusia dan Tuhannya, Yang Maha Kuasa. Bukti tertulis penggunaan Angklung tertua yang ditemukan terdapat pada prasasti Cibadak bertahun 952 Saka atau 1031 SM, di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada prasasti tersebut, diterangkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati, menggunakan seni Angklung dalam upacara keagamaannya. Kita juga dapat menemukan bukti lain dalam buku Nagara Kartagama tahun 1359, yang menerangkan penggunaan Angklung sebagai media hiburan dalam pesta penyambutan kerajaan. Kata Angklung diambil dari cara alat musik tersebut dimainkan. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis , Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap. Angklung merupakan alat musik yang berasal dari Jawa Barat. Angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke Bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur. Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa Kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu. Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Phocay sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Perenungan masyarakat Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di sawah dan huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai penghormatan dan persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya nyinglar (tolak bala) agar cocok tanam mereka tidak mengundang malapetaka, baik gangguan hama maupun bencana alam lainnya. Syair lagu buhun untuk menghormati Nyi Sri Pohaci tersebut misalnya: Si Oyong-oyong Sawahe si waru doyong Sawahe ujuring eler Sawahe ujuring etan Solasi suling dami Menyan putih pengundang dewa Dewa-dewa widadari Panurunan si patang puluh Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Perkembangan selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan unsur gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan padi pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun), juga pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana. Kini, Angklung telah menjadi alat musik internasional. Banyak Negara-negara lain mengembangkan angklung, dikarenakan beragam manfaat yang didapat. Filosofi angklung 5M (mudah, meriah, menarik, mendidik, massal) membuat angklung makin digemari di seluruh penjuru dunia. Pada jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan berlaraskan tritonik (tiga nada), tetratonik (empat nada) dan pentatonik (5 nada/ dengan bunyi da-mi-na-ti-la). Angklung jenis ini seringkali disebut dengan istilah angklung buhun yang berarti “Angklung tua” yang belum terpengaruhi unsur-unsur dari luar. Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai beragam kegiatan upacara yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya digunakan untuk keperluan : pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi dll. Pada Tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melakukan modernisasi alat musik angklung dari alat yang berskala tangga nada pentatonis (tangga nada tradisional) menjadi angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis (tangga nada modern). Angklung ini dapat memainkan lagu-lagu populer, musik nasional, dan lagu Barat maupun musik klasik. Disebut Angklung modern (diatonis) karena nadanadanya disesuaikan dengan skala nada diatonis, yaitu do – re – mi – fa – sol – la – si, dan angklung diatonis ini biasa disebut juga “Angklung Padaeng”, karena jasanya terhadap perkembangan Angklung dan pendidik musik. Angklung Modern (Padaeng) mulai diperkenalkan pada masyarakat internasional di tahun 1946 pada malam hiburan perundingan Linggar Jati. Tahun 1950 dan 1955, Angklung modern pun ditampilkan pada Konferensi Asia Afrika. Kini Angklung Modern (Padaeng) memiliki fungsi tambahan sebagai sarana pendidikan musik, karena Angklung dapat memupuk sifat kerjasama, disiplin, kercermatan, keterampilan dan rasa tanggungjawab. Demikian pula mengenai hal-hal yang merupakan dasar pokok dalam pendidikan musik, seperti membangkitkan perhatian terhadap musik, menghidupkan musik dan mengembangkan musikalitas, melodi, ritme dan harmoni. Atas pemikiran tersebut, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 182/1967 tertanggal 23 Agustus 1968 yang menyatakan Angklung sebagai alat pendidikan musik nasional. Sejak tahun 1971, pemerintah Indonesia menjadikan Angklung sebagai sarana dalam program diplomasi budaya. Angklung sejak saat itu menyebar luas ke berbagai negara. Di Korea Selatan, hingga kini tercatat lebih dari 8.000 sekolah memainkan Angklung. Di Argentina, Angklung telah menjadi mata pelajaran intrakurikuler yang menarik bagi siswa, demikian pula di Skotlandia. Sejak tahun 2002, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia telah memberikan kesempatan bagi siswa-siswi dari mancanegara untuk belajar dan mengenali Angklung di Indonesia. Kini Angklung tidak hanya menjadi alat musik kebanggan Indonesia, tetapi menjadi media untuk meningkatkan rasa persabatan antar bangsa di dunia. Diposkan oleh rin alat musik

May 11, 2012

Kolintang Gong

Oleh : Jessy Wenas dari dataminahasa.blogspot.com

Kolintang merupakan nama alat musik gong perunggu abad 17 di Sulawesi Utara, Sumatra dan Filipina Selatan yang tersebar melalui perdagangan antar pulau melalui jalur perdagangan sutra. Pusat perdagangan Internasional adalah Ternate dan Tidore sebagai penghasil rempah-rempah pala dan cengkih. Jalur perdagangan selatan dari pantai Timur India pelabuhan Cambaya, Sumatra Utara, Malaka, pantai Utara pulau Jawa lalu ke Ternate Tidore. Jalur perdagangan Utara dari India ke Malaka, Brunei, Filipina selatan, Sulawesi Utara, lalu ke Ternate dan Tidore.
Kolintang gong kemungkinan telah tiba di Minahasa melalui Ternate dari kerajaan Majapahit (1350-1389) yang armada pelayarannya sudah sampai dikepulauan Sangihe dan Talaud. Yang sudah tercatat dalam buku negara Kartagama ditulis : ”Uda Makat raya dinikanang sanusa pupul” (1*) mungkin juga dari Cina karena pulau Siauw telah tercatat dalam peta pelayaran Cina di buku ” Shun Feng Hsin Sung” ditulis oleh SHAO (2*) awal abad ke 15.

Tahun 1972 penulis membawa MOMONGAN ( Gong perunggu ) asal Tomohon di Minahasa yang retak, untuk diperbaiki di Yogyakarta, pengrajin Gong di Yogyakarta, mengatakan bahwa campuran timah dan tembaga gong tersebut menunjukkan ciri khas buatan kerajaan Belambangan dari Jawa Timur (Ditaklukkan Mataram pada tahun 1639).

Beberapa penulis bangsa barat yang menulis mengenai Minahasaawal abad ke 19 memberi data mengenai alat musik KOLINTANG Minahasa terbuat dari bahan logam dan bukan dari kayu. Penulis J. Hickson mencatat sebagai berikut (3*) ...the party next return to the house, the gong kolintang are sounded ( terjemahan bebas : …peserta pesta upacara kemudian kembali kerumah, dan gong kolintang lalu dibunyikan.) Selanjutnya penulis J. Hickson menceritakan mengenai Mapalus dan lebih menjelaskan bahwa kolintang itu gong (4*)

...Mapalus bieting Gongs / Kolintang (Terjemahan bebas : ...Pekerja Mapalus memukul Gong / Kolintang ). Nada – nada Kolintang Gong ditulis oleh N.Graafland dalam bentuk solmisasi, do – mi – sol – mi ... la – do – fa – si , ada gong besar dengan nada fa rendah (5*)


(1*) Bandar jalur sutra – dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex Ulaen, halaman 108)

(2*) Bandar Jalur Sutra – Dept. P&K – RI. Jakarta 1998. (Alex Ulaen, halaman 109)

(3*) Naturalist in North Celebes – London 1889 (J. Hickson, halaman 292)

(4*) Naturalist in North Celebes – London 1889 (J. Hickson, halaman 234)

(5*) De Minahasa, eerste deel – Batavia 1898 (N.Graafland, halaman 357)


Alat musik kolintang gong Minahasa jaman tempo dulu dapat kita lihat pada gambar sketsa buku Ethnographisce Miezelen Minahasa Celebes, A. Meyer and O. Ritcher di Museum Dresden 1902.


Gambar penari Kabasaran memakai tombak, di iringi musik kolintang gong yang nampak disebelah kanan bawah, seorang duduk menghadapi kolintang yang terdiri dua deret gong masing – masing satu deretan terdapat lima gong.

Kolintang Gong ini masih dapat di temukan di Airmadidi bawah wilayah Tonsea milik Ny. Kilapong dan Ny. Doodoh yang hingga kini musik MAOLING digunakan mengiringi tari MAPURENGKEY pada upacara perkawinan (6*). Apabila kita kumpulkan nama instrumen alat musik Gong di wilayah Nusantara dan Filipina, yang mirip dengan kata KOLINTANG akan terlihat sebgai berikut :

KOLINTANG : Nama alat musik Gong di Minahasa.

GOLINTANG (GORINTANG) : Nama alat musik di Bolaang – Mongondouw.

KELINTANG : Nama alat musik Gong di Sumatra yang di jadikan perbandingan nama KOLINTANG oleh penulis N.Graafland sebagai berikut (8*): ...De KOLINTANG (Minahasa) op Sumatra heet zij KULINTANG (Terjemahan bebas : ...KOLINTANG (Minahasa) di Sumatra bernama KULINTANG.

KULINTANG : Nama alat musik Gong di Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatra (9*)


Dari nama-nama leluhur Minahasa jaman lampu seperti, Lintang, Lumintang, Lantang, Lintong, yang berhubungan dengan nama alat musik gong dan keterangan bunyi alat musik logam tersebut, TANG, TONG. Menunjukkan bahwa alat musik gong KOLINTANG itu sudah lama dikenal orang Minahasa, yang jaman tempo dulu punya nilai yang tinggi dimasyarakat dan hanya pemimpin masyarakat yang memiliknya yakni dari golongan TONAAS dan WAILAN. Dapat diambil kesimpulan bahwa leluhur (Opo’) yang mengambil nama dari alat musik Gong ini memiliki status sosial yang tinggi dimasyarakat.

Satu buah alat musik Gong dinamakan ”Momongan”, satu deretan momongan disebut KOLINTANG terdiri dari lima Gong (Penthatonis), Gong besar disebut ”Antung” atau ”Rambi”. Orkes musik MAOLING terdiri dari : Kolintang (Melodi), Momongan, Antung (Bass), Suling dan Tambor (Letek).

Ceritra rakyat Minahasa mengenal Dewa alat musik ketuk Xylophone dari kayu (kolintang kayu ) bernama TINGKULENGDENG yang mengetuk-ngetuk bilah kayu (10*) satu masa hidup dengan dewa MUNTU-UNTU abad ke tujuh (11*)


(6*) Hasil survey Koleksi Museum daerah Kebudayaan Minahasa. Kanwil.P&K.1982.Halaman.16

(7*) Majalah Filipina ”Quarterly” September.1975.halaman.69

(8*) De Minahasa, N.Graafland.eerste deel. Batavia.1989.halaman.357

(9*) Buku Objek Wisata kabupaten Komering Ulu.Cetakan 1990.halaman.35

(10*) Toumbulusche Pantheon.DR.J.G.F.Riedel.Berlin.1894.halaman.7

(11*) De Watu Rerumeran ne Empung Dr.J.G.F.Riedel.1897.190


Kemudian ada dewa alat musik gong bernama KOLANTUNG (Antung = Gong besar) namanya tidak terdapat dalam daftar dewa-dewi tulisan DR.J.G.F.Riedel, kemungkinan masa hidupnya setelah abad ketujuh.


Kolintang Kayu.


Alat musik pukul (Diophone) Kolintang Minahasa sekarang ini berbentuk xylophone kayu dengan tangga nada diatonis (do – re – mi – fa – so – la – si – do ).

Karena alat musik kolintang Minahsa sekarang ini terbuat dari kayu dan bukan dari bahan logam seperti jaman tempo dulu, maka kita perlu meneliti alat musik pukul (Diaphone) Minahasa dari bahan kayu atau bambu.

Bahan data sudah sangat sulit ditemukan, hingga harus kembali meneliti semua alat bunyi-bunyian Minahasa yang terbuat dari kayu atau bambu seperti TETENGKOREN berbagai jenis dan TENGTENGEN. Xylophone bambu yang disebut TENGTENGEN (12*) adalah satu-satunya alat musik purba Minahasa yang masih ada dan pernah dilihat oleh penulis di Tomohon tahun 1956.

Hasil penelitian alat musik Xylophone bambu dan kayu Minahasa tertulis dalam kertas berjudul perkembangan Instrumen musik kolintang pada pusat latihan kesenian Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, proyek peningkatan mutu, pelatih seni budaya tahun 1991. BAB.Kolintang Tritonis. Dalam bentuk ceramah pada workshop pelatih musik kolintang se-DKI.1991.

Dalam makalah ini saya perbaiki lagi karena pengertian KOLINTANG TRITONIS adalah musik gong, seharusnya TENGTENGEN TRITONIS yang terdiri dari tiga potong bambu bernada do (1), re (2), mi (3) diletakkan diatas dua batang pisang yang diletakkan sejajar lalu diketuk-ketuk dengan sepotong kayu. Dinamakan musik kobong (kebun) karena hanya dimainkan dikebun oleh petani ketika istirahat makan siang sekitar jam 11.00


(12*) Kamus Tombulu – Minahasa .H.M.Taulu.1971


Not dimankan sebagai berikut

Irama 4/4 3 / 33 33 3 01 / 22 31 2 03 / 1 . 1 1 /

/ 22 22 2 0 / 0 dimainkan berulang-ulang

Tapi apabila dimainkan oleh tiga orang, maka alat musik itu ada tiga buah dengan d nada berbeda, alat musik pertama disebut INA’ (ibu) mengambil alihfungsi melodi, alat kedua disebut KARUA dan alat ketika disebut KATELU atau LOWAY.



Kemungkinan besar not Tritonis asli Minahasa purba adalah : Do (1), re (3), mi (3) dan nada tritonis : mi (3), sol (5), la (6) adalah pengaruh nada kolintang gong. Asal nama – nama INA’ (Ibu), KARUA dan LOWAY ( bayi lelaki) kemungkinan besar dari nama – nama ukuran TETENGKOREN, yang kecil disebut ’INA, yang sedang disebut KARUA atau AMA’ (ayah) yang besar disebut LOWAY (anak) berhubungan erat dengan nama – nama leluhur pertama Minahasa LUMIMUUT (ibu) dan TOAR (anak, sekaligus suami). Menurut para supranatural lobang tetengkoren itu simbol kemaluan wanita. Mengapa Ibu itu utama dan lebih kecil dari anak, para supranatural menjelaskan menjelaskan menurut logika mereka, Lipan (kakisaribu) besar dinamakan KARAMKAN dengan sebutan ”Salina ni Karema” (selimut dewi karema) dan binatang kecil yang dinamakan ”Anjing Tanah” yang besarnya seperempat dari Lipan(kakisaribu) mendapat sebutan ”Ina’ni Kama” (Ibu dari kakisaribu).

Susunan lengkap alat musik ”Orkes Kobong” TENGTENGEN. Lagu yang dimainkan oleh TENGTENGEN – INA’ yang berirama walz sering di ikuti oleh beberapa wanita tua peserta mapalus menari :


¾ Walz pengaruh Spanyol.

5 / 6 6 5 / 3 3 5 / 6 6 5 / 3 3 3 / 3 3 3 /

/ 5 3 3 / berulang – ulang

Keberadaan musik TENGTENGEN – KAYU dari bahan kayu ” Wu’nut ” hanya tinggal nama disebut ”Kolintang wu’nut” bertangga nada Penthatonia (liam nada) dari bilah – bilah kayu. Ada informasi bahwa ”musik Kobong ” terbuat dari kayu pernah dimainkan oleh orang-orang tomohon yang menyingkir ke gunung Tampusu, dan penduduk Airmadidi yang menyingkir ke kaki Gunung Kalabat ketika Jepang masuk ke Minahasa tahun 1942 – 1943 jaman perang dunia ke – II.

Hingga sekarang ini Xylophone kayu TENGTENGEN masih dimainkan para petani dikebun ladang atau sawah di wilayah Tonsea Minahasa Utara. Jantje Dungus menjelaskan bahwa potongan kayu bilah-bilah nadadisebut PAMENGKELAN dan nama sepotong kayu sebagai alat pemukul di sebut TE-TENGTENG (*13)

Nama alat musik Xylaphone kayu bertangga nada Penthatonis Minahasa tidak lagi diketahui, hanya disebut ” Kolintang Wu’nut”, di Jakarta dinamakan GAMBANG bertangga nada penthatonis : do (1), re (2), mi (3), sol (5), la (6) seperti lagu Gambang Kromong Benyamin.S. berjudul ”Ondel-Ondel” di Filipina disebut GABBANG.

Tangga nada penthatonis Minahasa hanya dapat ditelusuri melalui penelitian lagu-lagu tua Minahasa yang bertangga nada penthatonis OWEY dan Penthatonis ROYOR. Ada kebingungan untuk menentukan mana yang OWEY dan man yag ROYOR, tapi dengan bantuan seorang pakar tari maengket Bapak Titus Loho dapat ditentukan bahwa Penthatonis ROYOR bertangga nada : do (1), re (2), mi (3), sol (5), la (6) pengaruh tangga nada kolintang gong, dan tangga nada Penthatonis OWEY : mi (3), sol (5), la (6), si (7), do (1). Dapat dipastikan ada dua jenis ” Kolintang Wu’nut ” (Kolintang kayu) yang dimainkan pada upacara yang berbeda, tari ” Kumoyak” oleh kabasaran menggunakan Tangga nada Penthatonis ROYOR :



(13) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea. 28 mei 2007


Kolintang Band.

Sekitar tahun 1940 orkes musik ”Hawaian Band” diMinahasa mulai memudar, karena orkes musik ini menggunakan alat musik HAWAIEN yang menggunakan spul magnetik seperti gitar listrik sekarang ini. Sebelumnya orang Minahasa dapat membuatnya dengan mengambil spul magnetik gagang telepon rusak, yang kemudian sudah sangat sulit ditemukan. Susunan alat musik orkes hawaien band adalah sebagai berikut :



KOLINTANG BAND


Bentuk ”Kolintang Band” pertama muncul diwilayah tonsea Minahasa sekitar tahun 1940-an, menurut Bapak Alfred Sundah (1990) para pemusik kolintang Band Tonsea masih malu-malu karena menggunakan alat musik melodi dari kayu buatan mereka sendiri. Tapi NELWAN KATUUK tidak peduli bahkan menikmati orkes musik yang baru ini justru karena dia Tuna Netra.

Yang menamakan Xylophone kayu dengan sebutan KOLINTANG bukanlah NELWAN KATUUK tetapi masyarakat Tonsea, hingga muncul dua istilah yakni kolintang kayu dan kolintang tembaga (Gong).

Dengan komposisi peralatan musik seperti inilah jenis musik kolintang band menjadi terkenal di masyarakat Minahasa, Xylaphone kayu buatan sendiri, lagu cipataan sendiri dan aransemen lagu dibuat sendiri, kreasi musik tidak tergantung pada siapapun.

Lahirnya musik kolintang band tidak telepas dari karya musik Nelwan Katuuk yang membuat alat musing Xylophone kayu bertangga nada diatonis yang akhirnya menjadi terkenal diseluruh Minahasa.

Nelwan Katuuk lahir pada tanggal 30 maret 1920, pada usia 12 tahun telah menjadi pemukul kolintang perunggu (Gong) untuk memanggil para pekerja Mapalus. Dia menggunakan nada (14*)

/ 11 55 3 5 / 11 55 3 5 /

Pada usia 20 tahun Nelwan sudah dapat memainkan biola dan alat musik Hawaien, tapi kedua alat musik itu sudah sangat sulit ditemukan di Minahasa. Lalu seseorang bernama William Punu membuat alat musik Xylophone kayu (Tetengen) bertangga nada diatonis untuk dimainkan sebagai melodi menggantikan Hawaien (15*).

Tahun 1943 setelah Jepang mendarat di Minahasa pada perang dunia ke-II, seorang Jepang memberikan alat musik Hawaien, sehingga Nelwan Katuuk menggunakan tiga alat musik sebagai melodi dalam pertunjukan musiknya. Xylaphone dari kayu Wanderan yang kemudian disebut kolintang kayu, biola dan hawaien, kelompok musiknya dinamakan ”NASIB” denga anggota: (16*)

Nelwan Katuuk : Melodi merangkap Penyanyi

Daniel Katuuk : Gitar akustik

Budiman : String bass

Lontoh Katuuk : Jukulele


Tahun 1945 menciptakan lagu instrumentalia diberi judul ”Mars New Ginea” mendapat ilham dari kekalahan Jepang di Papua (Irian) oleh sekutu (Amerika-Autralia), pada tahun 1957 lagu ini sering didengarkan di radio Australia dengan nama ”Cipson”.

Kelompok musik kolintang band lainnya yang terkenal dimasyarakat Minahasa pada peride itu bernama ”Tumompo Tulen” :

Leser Putong : Melodi

Bibi Putong : String Bass

Wakkari Tuera : Gitar akustik

Usop : Jukulele

Doortje Rotty : Penyanyi

Kolintang band ini dan lainnya tidak menciptakan lagu dan hanya mengisi acara hiburan musik, hingga karya musiknya tidak menembus jaman menuju keabadian seperti karya musik dan lagu Nelwan Katuuk.

Sekitar tahun 1950-an kolintang band mendapat sebutan nama lain yakni orkes kolintang, tapi dalam penampilannya lebih populer disebut ”Kolintang Engkel” Karena hanya menggunakan satu alat kolintang kayu berfungsi sebagai melodi (17*)


(14*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

(15*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 28 Mei 2007. (Wawancara)

(16*) Rachel Katuuk, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)

(17*) Jantje Dungus, Suwaan Tonsea 29 Mei 2007. (Wawancara)


Orkes kolintang kemudian mulai berkembang sampai keluar Minahasa. Antara lain di Bandung bernama kolintang ”Maesa Bandung” tahun 1959 pimpinan Hannes Undap. Melodi : Nico Koroh

Gitar Akustik : Reni Mailangkai

Jorry Mowilos

Jukulele : Ferdie Lontoh

Ben Makalew

String Bass : Jessy Wenas

Penyanyi : Elly Doodoh

Winter Sisters

Karena alat musik kolintang yang dipesan dari Manado tidak punya kaki, maka dalam pertunjukan pentas kolintang diletakkan pada dua buah kursi


Orkes Kolintang

Walaupun sudah berganti nama orkes kolintang periode 1950 – 1964, tetapi penampilannya masih mirip kolintang band, dan sudah mulai menggunakan nada ½ (setengah) : di – ri – fi – sel – le .

Para pemain melodi kolintang kayu pada periode ini antara lain (18*) :
Janjte Dungus (Suwaan – Tonsea) Kolintang ” Karpilo”
Josep Iwi Sundah (Lembean)
Gustaaf Warouw (Tomohon) Kolintang ”Rayuan Masa”
Bert Rako (Kakaskasen – Tomohon)
Worang Ransun (Maumbi – Tonsea )




Kolintang Jambi

KOTA JAMBI, JS-Tidak kalah dengan anak-anak normal lainnya, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) juga sangat antusias untuk mengikuti latihan bermain alat musik tradisional kolintang, yang diterima anak-anak autis di Kiddy Autism Center.

Pimpinan Kiddy Autism Center, Abdullah Zahid mengatakan sebenarnya kemampuan anak-anak autis dalam memainkan musik tidak kalah dengan anak-anak normal lainnya. Hanya saja, pengetahuan anak-anak autis tentang alat musik ini, masih minim karena kurangnya diberikan pengetahuan kepada mereka. Hal ini, disebabkan karena kondisi anak tersebut.

Di Kiddy Autisme Center misalnya, banyak sekali pengetahuan yang didapat anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus ini. Seperti, memainkan alat musik kolintang ini. Apalagi, jika anak-anak ini diarahkan dengan sebaik mungkin, maka akan mendapatkan hasil yang maksimal.

"Banyak sudah kemampuan anak-anak autis ini yang tidak kita ragukan lagi. Seperti, Aldi yang mampu menghafal lagu hingga 450 judul, begitu juga dengan Hadist yang mampu menghafal lagu Minang mencapai 250 judul. Nah, kemampuan inilah yang selalu kita asah, untuk menjadikan anak-anak autis agar lebih mandiri dan juga memahami segala bentuk keterampilan, baik musik dan tarik suara," ungkap Zahid, kepada Jambi Star, kemarin.

Diakui Zahid, memang anak-anak autis pada awal diberikan pendidikan baik seni musik dan tarik suara, para terapis agak kesulitan. Namun demikian, jika secara perlahan tapi pasti. Dan hasilnya, cukup memuaskan para orang tua dan seluruh masyarakat di sekitarnya.

"Pada awalnya, kita cukup sulit untuk mengajarkan semua jenis alat musik dan juga tarik suara. Namun seiring dengan kekuatan anak-anak tersebut dari hari ke hari di bentuk, maka banyak sudah kemampuan yang mereka miliki. Apalagi, saat ini alat musik kolintang cukup diminati anak-anak autis di Kiddy Autism Center ini," katanya.

Dari seluruh kegiatan-kegiatan anak-anak autis ini, tentunya lanjut Zahid, semua ini harus memerlukan dukungan dari orang tua khususnya. Pasalnya, perjuangan orang tua untuk anaknya hingga berhasil menjadi mandiri adalah harapan dan juga impian, sehingga anak-anak yang cerdas tersebut bisa dan dapat diterima oleh masyarakat luas, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

"Kami selalu berdoa, agar para orang tua yang memiliki anak autis tetap sabar dan terus mendukung semua program pendidikan mereka, sehingga anak-anak tersebut bisa menjadi anak yang mandiri dan bisa membawa kemajuan bagi dirinya sendiri," harap Zahid. (tia)

Nusantara bermazmur