Nov 4, 2009

Kompas.Com - "Bakudapa" di Pasang Surut Kolintang


"Bakudapa" di Pasang Surut Kolintang
KOMPAS/NASRULLAH NARA
Sejumlah pemain, pelatih, dan pembuat alat musik kolintang asal Minahasa, yang telah puluhan tahun merantau di Jakarta dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa, mengamati sebuah kolintang di Stadion Maesa, Tondano, Sulawesi Utara, Sabtu (31/10).
Artikel Terkait:

* Rekor Dunia Membentangkan Paten Kolintang

Kamis, 5 November 2009 | 07:41 WIB

Oleh NASRULLAH NARA

Bulu kuduk Hein Sorongan (55) merinding ketika musik kolintang mengalun di Stadion Maesa, Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Sabtu (31/10) sore. Mata Petrus Kaseke (67) bahkan berkaca-kaca menyaksikan persembahan massal kolintang dengan jumlah pemain dan alat mencapai 1.223.

Di tengah alunan lagu ”Tembo-temban” dan ”Minahasa Kina Toanku” yang dibawakan mendayu oleh dua gadis Minahasa, ingatan mereka terlontar ke masa kanak-kanak dahulu di Bumi Minahasa. Selain Hein dan Petrus, juga hadir ratusan penggiat kolintang, termasuk pelatih dan pembuat kolintang, baik yang bermukim di Minahasa maupun yang tinggal di sejumlah kota di Jawa.

Malang melintang di dunia seni tradisi, inilah kali pertama opa-opa itu menyaksikan kolintang dimainkan massal. Sebuah kerinduan akan bangkitnya kembali musik kolintang di tatar Minahasa membuncah di sanubari mereka.

Apalagi, pergelaran kolintang untuk dicatat dalam Guinness World Records itu juga dirangkai dengan pentas musik bambu yang dimainkan 3.011 orang. Kolintang dan musik bambu adalah seni tradisi yang tumbuh dan mengakar di tatar Minahasa sebelum kemudian menyebar ke daerah lain di Tanah Air.

Kolintang raksasa yang dipajang dalam acara itu terbuat dari kayu cempaka berukuran panjang 8 meter, lebar 2,5 meter, tinggi 2 meter, berat 3,168 kilogram, dan volume bahan 13,7 meter kubik. Adapun musik bambu berupa seng klarinet berukuran panjang lengkung/lingkar dalam-luar 4-32 meter, diameter mulut 6 meter, dan tinggi 8 meter.

Perwakilan Guinness World Records, Lucia Sinigagliesi, manggut-manggut takjub seraya berucap, ”Wow, it’s very nice….” Pencatatan seni tradisi Minahasa itu pada buku rekor dunia menutup ruang negara lain untuk mengklaimnya.

Diprakarsai Institut Seni Budaya Sulawesi Utara pimpinan Benny J Mamoto, pergelaran itu sarat misi primordialisme dan patriotisme. Diawali dengan seminar dan lokakarya, seluruh rangkaian kegiatan itu dihadiri perwakilan komunitas kolintang dari provinsi di Pulau Jawa. Tujuannya, selain menggapai pengakuan dunia agar tidak diklaim negara lain, juga untuk menyadarkan fenomena pasang surutnya kolintang di Tanah Air.

”Kami ingin membuktikan bahwa akar seni tradisi kolintang dan musik bambu berasal dari Minahasa sebelum kemudian menjadi medium perekat bangsa,” ujar Hendrik J Mantiri (62), penggiat kolintang sekaligus penerima pin maestro musik bambu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2009.

Sebutan Minahasa mengacu kepada salah satu suku yang menghuni jazirah utara Pulau Sulawesi, di samping suku Sanger-Talaud, dan Bolaang Mongondow. Entitas budaya itu awalnya menghuni sebuah wilayah yang bernama Kabupaten Minahasa. Belakangan, seiring dengan era otonomi daerah, kabupaten itu mekar dari daerah induknya, yakni Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Utara, Minahasa Selatan, dan Minahasa Tenggara.

Bagi opa-opa penggiat kolintang itu, pulang ke tanah leluhur merupakan kesempatan langka. Biasanya mereka pulang ke kampung cuma dalam rangka Natal. Itu pun tidak rutin karena sudah dibalut kesibukan mengurus anak dan cucu serta aktivitas gereja. ”Torang (kita) bisa bakudapa (ketemuan) begini di Minahasa karena kolintang. Sayang sekali waktunya mepet. Torang nyandak bisa sama-sama keliling kampung halaman,” tutur Hein.

Di balik kegembiraan akan reuni seperti itu, tebersitlah galau. Gempuran budaya pop membuat kolintang tidak lagi rutin dilombakan. Lomba setingkat kabupaten paling banter sekali setahun. Belakangan, di pesta hajatan, kolintang sudah tergantikan organ tunggal (digital).

Redupnya kolintang juga bisa diukur dari kian jarangnya jumlah pembuat kolintang. Bengkel kolintang yang bertahan di wilayah Minahasa bisa dihitung dengan sebelah jari. Salah satunya adalah milik Joudy Aray di Tomohon, pembuat kolintang raksasa yang dipajang dalam pergelaran itu.

Namun, nilai plus dari hajatan itu terletak pada kehadiran putra-putra Minahasa yang merantau dengan bekal kecakapan bermain kolintang dan di tanah rantau konsisten menekuni bidang itu. Mereka telah meninggalkan Minahasa pada usia 20-25 tahun dengan predikat serba bisa: sebagai pemain, pelatih, dan pembuat kolintang.

Hendrik J Mantiri menegaskan, pemain dan pembuat kolintang sekaligus harus paham ukuran tebal-tipisnya serutan perut balok-balok kayu waru atau cempaka di atas peti resonator untuk mendeteksi nada ”tong” (nada rendah), ”ting” (tinggi), dan ”tang” (tengah). Irama-irama itulah yang muncul dari instrumen musik yang minimal terdiri atas enam unit, yakni satu melodi, satu benyo, satu juk, dua gitar, dan satu bas.




Nov 2, 2009

Hein Kaseke

Hein Kaseke

Tahun 1967 mulai melatih Musik Bambu dibeberapa tumpukan Musik Bambu di daerah Ratahan dan sekitarnya. Tahun 1980, penglihatannya tiba-tiba hilang. Tapi bukan berarti menyurutkanya untuk mendalami Musik Bambu. Kecintaaannya pada Musik Bambu makin menjadi-jadi. ”Mata buta bukan berarti akhir dari segala-gala.

Saya makin terpacu. Saya percaya semua yang terjadi so diatur yang Kuasa,” kata pria kelahiran Tousuraya 10 Desember 1947 ini. Tahun 1983, untuk lebih fokus pada pengembangan Musik Bambu, ia meminta pensiun dini sebagai pegawai negeri yang dilakoninya sejak tahun 1965. Kini, hidupnya tiada hari tanpa Musik Bambu baik sebagai pelatih, pengrajin maupun mengaranger lagu. Dan dari tangan suami Elisabeth Punuhsingon ini sudah 5 (lima) album kaset yang ia keluarkan antara lain: Album Rohani Musik Bambu Klarinet dan album Musik Klarinet bersama tumpukan Harapan Taruna Jaya Pangu Ratahan.
Dengan adanya penghargaan ini, dunia seni budaya Sulawesi Utara mendapat gairah baru. Saya percaya dengan adanya penghargaan ini akan memacu para seniman untuk terus berkarya bukan karena ada penghargaan tetapi karena adanya perhatian dan apresiasi dari para peminat seni budaya khususnya Institut seni Budaya sulawesi Utara. Saya bersyukur adanya seorang Benny Mamoto yang datang bagaikan mata air di tengah gurun pasir, yang memberi dahaga bagi para seniman tua seperti saya. Ini adalah adalah hadiah istimewa di hari ulang tahun saya yang ke 62. Makase Tuhan Yesus.


Nelwan Katuuk

Almarhum Nelwan Katuuk
Nama Almarhum Nelwan Katuuk, dalam jejak sejarah Musik Kolintang sudah begitu menyatu. Sebab boleh dikata dari tangan kreatifnya Musik Kolintang tercipta, yang ditandai dengan mengembangkan ensambel musik Kolintang dengan menetapkan nada-nada Chromatic dan Diatonik. Uniknya, Almarhum yang lahir di Desa Kauditan Minahasa Utara pada 30 Maret 1920, sejak lahir sudah tidak bisa melihat. Tapi walaupun buta namun Tuhan memberikan karunia lain yang begitu dasyat pada seni musik.
Dalam rekam jejak pengabdiannya, tercatat almarhum telah mengkreasikan Kolintang tradisional berupa orkes yang menggabungkan alat musik kolintang yang diciptakan dengan musik lainnya yang terdiri dari Kolintang Melodi, Gitar, Ukulele (Juk), String Bass tradisional. Juga dari tanganya sudah tercipta kurang lebih 20 lagu daerah.
Mewakili istri almarhum; Soesana Lasut, salah seorang puterinya Dra. Rachel H.E. Katuuk, mengungkapkan penghargaan yang diberikan Bapak Benny Mamoto melalui Institut Seni Budaya Sulut ini makin mempertegas bahwa Musik Kolintang milik Sulawesi Utara. Baginya, seni budaya tanpa perhatian tak akan berkembang. ”Perasaan kami keluarga tak bisa diungkapkan lagi dengan kata-kata. Yang pasti, kami terharu, walau Papa so nyanda ada tapi buah karyanya diperhatikan di daerah tempat lahirnya. Ini adalah penghargaan pertama dari Sulawesi Utara kepada almarhum. Sebab negara lewat penghargaan yang diberikan Presiden Soekarno pada 1963 mengakui almarhum adalah pencipta Musik Kolintang. Jadi penghargaan ini melengkapi pengakuan yang sudah ada atas karya-karya Almarhum namun peristiwa ini menjadi begitu istimewa karena penghargaan datang dari daerah tempat Almarhum lahir dan meninggal. Nelwan Katuuk dipanggil Sang Kuasa pada 26 Januari 1996.

Jun 19, 2009

Sampah kayu kolintang


Kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan peduli terhadap pencemaran lingkungan butuh usaha yang keras dan memang tidak mudah untuk mengajarkannya.
Tetapi mungkin bisa berhasil bila masalah "kesadaran" ini diberi sedikit uang dan inilah yang dilakukan oleh pemerintah Cina.

Kotak mesin daur ulang (recycling machine) yang diletakkan di tengah kota ini pasti akan membuat masyarakat berbondong-bondong untuk rajin membuang sampah, khususnya untuk sampah alumunium dan plastik yang mempunyai kode bar (barcode) seperti kaleng minuman dan lainnya.
Bagaimana tidak, karena setiap sampah yang "diterima" oleh mesin ini maka anda akan mendapatkan 0,1 yuan atau sekitar Rp. 132,-.
Setelah meluncurkan mesin daur ulang ini, dalam seminggu pertama mereka bisa mengumpulkan sebanyak 3.000 botol kosong.

Bicara mengenai sampah,produksi kolintang juga menghasilkan bekas bekas serutan kayu dan potongan potongan kayu wilahan yang kami belum mempunyai cara untuk memanfaatkan atau mendaur ulang.

Opa yohanes kaseke yang paling rajin membuang sampah kolintang.Karena sudah terbiasa bekerja di kebun selama di Minahasa,maka tidak betah berdiam diri selama berada di Salatiga.Kondisi fisik opa memang kuat,menurut cerita sewaktu umur 60 tahun masih sanggup memanjat pohon kelapa yang tinggi.Waktu sudah berumur 80 tahun,masih rajin membuang sampah kolintang di Salatiga,tetapi karena untuk membuang sampah harus menyebrang jalan yang lalu lintasnya ramai maka kami larang karena mengkhawatirkan keselamatannya.Opa tidak boleh membuang sampah,dengan alasan kayu yang masih cukup panjang tidak boleh dibuang karena akan dipakai lagi.Tidak kehilangan akal,maka kayu yang masih panjang panjang dan masih dapat dimanfaatkan dipotong kecil kecil oleh opa,supaya dapat melakukan kegiatan membuang sampah.
Akhirnya opa dilarang membuang sampah baik kayu pendek ataupun kayu panjang.

Sekarang umur opa sudah hampir 100 tahun,kondisinya sudah agak menurun,karena tidak melakukan kegiatan bekerja lagi.Kami menyesal karena melarangnya membuang sampah,mestinya dibiarkan saja membuang sampah sebagai kegiatan sehari harinya berolah raga.
By:MS


Asal Usul Kolintang(cerita rakyat)

Pada jaman dahulu didaerah Minahasa Propinsi Sulawesi Utara ada sebuah desa yang indah bernama To Un Rano yang sekarang dikenal dengan nama Tondano.
Didesa To Un Rano itu tinggalah seorang gadis cantik jelita.Kecantikannya tersohor keseluruh pelosok desa,sehingga banyak dibicarakan orang,maka tak mengherankan banyak pemuda yang jatuh hati kepadanya.Gadis itu bernama Lintang.Ia pandai menyanyi , suaranya nyaring dan merdu.
Pada suatu hari didesa To Un Rano,diselenggarakan pesta muda mudi.Saat itu seorang pemuda gagah dan tampan memperkenalkan diri kepada Lintang”Makasiga namaku,aku berasal dari desa Kelabat Atas,”kata Makasiga sambil menjabat tangan Putri Lintang.
Memang putri Lintang pernah mendengar nama Makasiga.Makasiga adalah seorang pemuda ahli ukir-ukiran dari desa Kelabat Atas.Dan perkenalan mereka itupun berlanjut.
Makasiga ingin meminang putri Lintang.Putri Lintang menerima pinangan Makasiga,tetapi dengan satu syarat.”Buatkan aku musik yang lebih merdu dari bunyi seruling emas*,”kata Putri Lintang kepada Makasiga.Makasiga menyanggupi persyaratan Putri Lintang tersebut.Dan berkat keuletannya,dengan cepat Makasiga mendapatkan alat musik yang lebih keras dari bunyi seruling emas*,namun bukan itu yang dimaksud Putri Lintang.
Akhirnya Makasiga berkelana mencari alat musik yang dimaksud Putri Lintang.
Makasiga berkelana keluar masuk hutan,ternyata alat musik yang dimaksud Putri Lintang belum didapatkan.Untuk mengusir hawa dingin dimalam hari,Makasiga membelah-belah kayu dan menjemurnya.Setelah belahan kayu itu kering ,lalu diambil satu persatu dan dilemparkannya ketempat lain.Sewaktu belahan kayu itu dilempar dan jatuh ketanah,saat itulah belahan-belahan kayu itu mengeluarkan bunyi-bunyian yang amat nyaring dan merdu.
“Ha, belahan-belahan kayu ini pasti dapat dibuat alat musik,”pikir Makasiga.
Berkat ketekunan dan keuletan Makasiga,akhirnya Makasiga berhasil membuat alat bunyi-bunyian itu.
Diletakkannya lidi berderet berjajar dua.Dari deretan lidi di susun tali serat pangkal daun enau.Potongan potongan kayu dibuat berbeda panjangnya yang merupakan urutan not -not tertentu,kemudian di susun pada tali itu.Alat bunyi -bunyian diletakkan pada sebuah palung yang kakinya ada empat setinggi paha.
“Hem, pasti Putri Lintang puas dengan alat bunyi-bunyian ini dan pinanganku diterima,”gumam Makasiga sambil membunyikan alat itu.
Dari jauh ada dua orang pemburu yang mendengarnya.Mereka ketakutan karena dikiranya setan penunggu hutan sedang bermain musik.
Namun setelah pemburu itu mendekatinya,ternyata mereka mengenalnya.Ia adalah Makasiga dari desa Kelabat Atas .
Kedua pemburu sangat terkejut melihat Makasiga yang telah menjadi kurus kering dan lemah.Sebab selama dihutan Makasiga tidak pernah makan dan minum.Yang ia cari adalah alat bunyi bunyian yang dapat diterima dan menyenangkan hati Lintang.
Saat itu kedua pemburu membawa Makasiga dengan tandu pulang ke Desa Kelabat Atas.Makasiga jatuh sakit yang amat parah.Akhirnya Makasiga meninggal dunia.
Putri Lintang yang mendengar bahwa Makasiga telah meninggal dunia,langsung jatuh sakit parah dan akhirnya menyusul Makasiga di alam baka.Mereka telah meninggalkan jasa tiada tara yaitu telah menemukan alat musik yang dikenal dengan nama kolintang.
Dari:Cerita Asli Indonesia
*seruling emas:alat musik yang berbunyi merdu dan indah, milik Putra Mahkota Raja Mongondow yang gagal meminang Putri Lintang karena kasus tertentu.
**referensi lain mengenai seruling emas,dapat dibaca dibuku cerita silat karangan Kho Ping Ho.

Jun 14, 2009

Diajar berdagang oleh Pastur


Diajar berdagang oleh pastur

Penjualan kolintang pertama,terjadi pada tahun 1964 kepada turis/misionaris dari Amerika yang datang ke Jogjakarta,pada waktu opa Petrus menjadi mahasiswa Universitas Gajahmada.

Memang situasi dan kondisi pada saat itu mendukung sehingga kolintang perdana dapat dijual ,kalau pada saat itu opa Petrus masih tinggal di Minahasa,mungkin membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk dapat memproduksi kolintang secara komersial.

Suatu ketika seorang pastur Indonesia datang mengantar turis asing untuk membeli kolintang,kebetulan opa Petrus sangat mengharapkan kolintangnya laku terjual karena sangat membutuhkan uang untuk biaya sehari hari.

Opa petrus sangat sedih waktu Pastur kaget mendengar harga yang diajukan opa Petrus,sambil bertanya dalam hati ,akan ditekan serendah apalagi untuk kolintang yang sudah murah ini,padahal kolintang harus laku supaya dapat menutup biaya sehari hari.

Tidak disangka sangka Pastur mengatakan kepada opa Petrus agar menjual kepada turis asing yang dia bawa seharga dua kali lipat dari harga yang diajukan opa Petrus.
Tanpa menawar nawar lagi,turis asing itu membeli kolintang seharga yang di usulkan Pastur.

Pada awal produksi kolintang memang belum ada standarisasi harga jual seperti sekarang ini,selain itu memang susah juga menetapkan harga jual suatu produk yang bahan bakunya diambil gratis dari pohon kayu rumah tetangga memakai tenaga kerja diri sendiri yang uang makannya nol rupiah,karena makan singkong gratis dari kebun belakang asrama mahasiswa.

Pada dasarnya jiwa sosial opa Petrus yang anak pendeta Yohanes Kaseke lebih besar dari jiwa dagangnya,bagi opa Petrus tidak ada rahasia dapur ilmu membuat kolintang,sehingga semua pengetahuan dan eksperimen eksperimen tentang kolintang dengan sukarela dibagikan kepada siapa saja.

Tidak mengherankan bila pada saat saat opa Petrus sibuk keliling dunia pentas kolintang,muncul banyak pembuat kolintang dadakan menampung pesanan kolintang pada saat penjual aslinya tidak ada ditempat,mulai dari tukang tukang opa Petrus,murid murid yang dilatih,juga pelatih kolintang binaan opa Petrus.

Selain membagi bagi ilmu,opa Petrus juga sering menurunkan harga jual dengan alasan sosial,sehingga ada suatu saat dimana oma Petrus harus menahan supaya calon pembeli tidak dapat langsung berhubungan dengan opa Petrus.

Oma Petrus yang kegiatan sehari harinya sebagai ibu rumah tangga dan terbiasa tawar menawar belanjaan dipasar tradisional,mulai membantu menangani calon pembeli kolintang.

Pada waktoe itu bisa dipasang pengoemoeman:”bagi soedara soedara calon pembeli kolintang yang maoe minta diskon……,dipersilahken meminta diskon…..”,oma Petroes akan menoeroenken harga kolintang sebesar harga satoe kilo cabe rawit.

By: MM


Jun 9, 2009

Melanglang buana bermodal “tiga jurus”.

C….A minor……D minor…ke G….kembali ke C lagi……..,
C A minor D minor ke G ke C lagi. A minor D minor ke G ke C lagi. A minor D minor ke G ke C lagi.

Lirik di atas adalah cuplikan dari lagu kuburan band yang sedang populer tahun 2009.

Kisah cinta pemicu pengembangan kolintang di pulau jawa.

Selalu meraih prestasi juara I dari SD hingga SMA di Ratahan tidak menjamin akan berhasil melewati fakultas mesin di Universitas Gajahmada.

Menurut opa Petrus,pada waktu itu textbook-textbook di fakultas mesin belum ada terjemahan Indonesianya,sehingga opa Petrus kesulitan untuk mempelajarinya.
(Menurut opa buyut sih….pokoknya seribu satu macam alasan dech….:)


Pada waktu itu bantuan beasiswa dari bupati Minahasa tidak cukup untuk meneruskan kuliah,sehingga opa petrus mengalami masa masa sulit,kuliah di teknik Mesin Universitas Gajahmada terancam drop out.

Untuk menghidupi dirinya,opa bekerja serabutan,selain berusaha menjual kolintang,juga menjadi pemain musik di café café(jaman itu lebih dikenal sebagai kelab malam),atau kadang kadang mengisi acara musik di pentas pentas tertentu,statusnya saat itu menjadi seniman yang tidak mempunyai penghasilan yang jelas sumbernya.

Suatu ketika opa Petrus diminta mengisi suatu acara di Universitas Satyawacana Salatiga.
Pada saat gladiresik, rektor I Satyawacana pada waktu itu (almarhum Notohamidjojo) meminta opa memainkan sebuah lagu dengan alat musik kolintang.

Sekarang opa Petrus sudah lupa nama lagu itu,yang masih opa ingat,lagu itu berasal dari kepulauan Sangir Talaud dan biasanya di mainkan sebagai lagu pengiring dansa.

Dengan cermat bpk. Noto ,mendengarkan lagu tersebut,memberi petunjuk urut urutan lagu,mulai dari intro,pengulangan sampai endingnya.

Lagu itu terus menerus diminta diperdengarkan selama gladiresik,sambil sekali kali bpk Noto melamun,sampai sampai di dalam hati opa Petrus bertanya tanya,kenapa lagu tersebut minta terus menerus di mainkan.

Setelah kejadian itu ,opa Petrus diberi tawaran bekerja sebagai staff di Universitas Satyawacana Salatiga dengan kondisi yang sangat menyenangkan,diberi ruangan kerja di gedung auditorium,dengan gaji tetap dan waktu kerja yang fleksibel untuk terus dapat mengembangkan alat musik kolintang.

Opa sangat bersyukur dengan tawaran Bpk Noto,yang secara otomatis menaikkan status opa dari seniman luntang luntung menjadi pegawai swasta Universitas Satyawacana,hal ini yang menimbulkan keberanian opa untuk datang ke Tegal untuk melamar oma Petrus.

Tidak ada yang tahu bagaimana kelanjutan kisah kolintang di pulau jawa,jikalau opa Petrus tidak mendapatkan tawaran kerja oleh bpk Noto,kemungkinan besar opa buyut akan mengirim tiket kapal pulang ke Minahasa,setelah sekian lama menjadi seniman luntang luntung dan drop out kuliah.

Kemudian hari opa Petrus diberitahu kalau lagu berdansa dari Sangir Talaud mengingatkan akan kekasih alm.bapak Noto yang orang Sangir Talaud,mantan istri pertamanya.

By: M.M


Perjalanan Kolintang ke Jogjakarta



Pada tgl 13 Mei 1830 Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.menggunakan kapal Pollux.

Konon Pangeran Diponegoro beserta rombongan dibuang ke Manado .sambil membawa alat musik gamelan lengkap dengan gambangnya.

Rupanya selama pembuangan di Minahasa kotak resonator gambang gamelan,meng inspirasi orang orang minahasa untuk membuat kotak resonator kolintang mirip gambang sebagai pengganti tumpuan diatas kaki yang diselonjorkan atau tumpuan batang pisang.
Secara tidak langsung kolintang mendapat pengaruh dan memiliki kekerabatan dengan kebudayaan dari jawa.,oleh sebab itu tidak mengherankan jika alat musik kolintang dapat diterima dalam masyarakat jawa.

Pada tahun 1962 pemuda Petrus Kaseke pembuat kolintang asal Ratahan mendapat beasiswa dari Bupati Minahasa untuk melanjutkan ilmunya di Universitas Gajahmada Jogjakarta.

Mahasiswa jurusan mesin ini tidak melupakan kegiatan yang dikerjakan dari daerah asalnya selama di Jogjakarta. sebagai pembuat kolintang.

Membuat kolintang di Jogjakarta,merupakan perjuangan tersendiri karena kayu kolintang tidak didapatkan secara cuma cuma seperti halnya di sulawesi utara pada saat itu,ditambah lagi kesulitan dana karena statusnya sebagai mahasiswa universitas Gajahmada yang mendapat beasiswa terbatas dari bupati Minahasa


Berlainan hal nya dengan di Minahasa dimana kayu kolintang dijadikan kayu bakar,di Jogjakarta Petrus kaseke harus berburu kayu ke rumah rumah penduduk yang mempunyai pohon rindang dengan menawarkan jasa memotong pohon sehingga batang pohon dan dahan dahannya dapat dipakai untuk membuat kolintang.

Usaha memperkenalkan kolintang ke pulau jawa membuahkan hasil,sehingga kolintang sangat populer di jawa tengah.Perlombaan perlombaan kolintang diadakan sampai ke tingkat kelurahan tidak kalah merakyat di bandingkan dengan kondisi di Minahasa,sering kali Petrus Kaseke diundang sebagai juri lomba.

Pada saat ini dengan maraknya group musik campur sari,banyak pembeli kolintang secara eceran,ada yang membeli bass kolintang untuk digabungkan dengan group keroncong,ada yang beli cellonya atau melodynya saja.

Kolintang berkembang mulai dari fungsi alat untuk ritual animisme di Minahasa,menjadi perlengkapan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah sekolah,juga alat musiknya kegiatan ibu ibu PKK, kegiatan keagamaan dan acara acara lainnya di pulau jawa,tanpa bantuan iklan besar besaran di surat kabar atau televisi.

Orang orang yang percaya mistis ,mengatakan gambang “kolintang” yang dibawa oleh pangeran Diponegoro waktu di buang ke Menado th 1830,harus sowan dahulu ke Jogjakarta lewat Petrus Kaseke th 1962,sebelum menyebar ke pulau jawa dan seluruh dunia.

By: Markus Sugi

Jun 7, 2009

Ratahan





Ratahan…Ratahan….Oh Ratahan ….
Setempat yang indah permai……….
Mari kita masuk Ratahan…………..
Setempat yang indah permai……….


Lirik di atas adalah adaptasi sebuah lagu yang mengganti kata “Kanaan” menjadi “Ratahan”.

Ratahan adalah nama sebuah kecamatan di Minahasa Selatan,tempat asal opaku Petrus Kaseke ,tepatnya di desa Rasi.
Anak dari seorang petani yang juga pendeta bernama Yohanes Kaseke.

Kita lihat silsilah keluarga opa Petrus yang unik.
Kakek buyut opa Petrus bernama Petrus kaseke.
Kakeknya opa Petrus bernama Leufrand Kaseke
Papanya opa Petrus bernama Yohanes Kaseke
Anaknya opa Petrus bernama Leufrand kaseke
Kalau menuruti aturan pengulangan nama ,bisa ditebak nanti putra Leufrand Kaseke akan dinamai Yohanes Kaseke.

Hayoo….? siapa yang mau siap siap memberi kado bayi dari sekarang?istri belum ada,tapi nama anak sudah di siapkan…….

Leufrand Kaseke senior berprofesi sebagai tukang kayu,jadi bakat menukang dan sebagian peralatan tukang kayu diwariskan oleh kakeknya opa.

Seperti pada umumnya di daerah Minahasa,orang orang Menado gemar mengadakan pesta,dansa dansi,baik pada pesta pernikahan atau pada acara acara pertemuan lainnya,apalagi pada waktu sekitar pergantian tahun.

Kebiasaan di atas secara otomatis menumbuhkan kebiasaan suka menyanyi dan bermain musik,juga dansa.
Tidak mengherankan kalau opa Petrus sudah terbiasa menyetem(tuning) gitar sejak usia 5 tahun,meskipun belum dapat memainkan gitar.
Waktu kecil opa Petrus sering menawarkan diri untuk menyetem(tuning) gitar,yang sedang dimainkan orang orang dewasa yang tidak menyadari gitarnya fals.

Waktu kecil opa Petrus membuat kolintang hanya sebagai hobby.
Kalau disuruh papanya untuk mencari kayu bakar,maka sambil memotong motong,kayu bakarnya juga di stem(tuning) membentuk nada dan setelah bosan bermain,kayu kayu “kolintang” tersebut dikumpulkan kembali untuk di jadikan kayu bakar.

By : Liza markus.


May 27, 2009

Empu Kolintang Indonesia.

Pada tanggal 16 September 2006 dicatat dalam rekor Muri bermain kolintang massal dengan 200 buah alat musik kolintang di Jakarta,tak lama kemudian rekor Muri bermain kolintang massal dengan 585 buah alat musik kolintang dipecahkan di Minahasa.

Untuk memecahkan rekor Muri tersebut bukan hal yang sulit bagi daerah asal alat musik kolintang yang tiap desanya minimal mempunyai satu set alat musik kolintang.

Seperti halnya 57 tahun yang lalu seorang bocah Petrus Kaseke dapat membuat kolintang pada usia 10 tahun,demikian pula rakyat minahasa tidak kesulitan membuat kolintang,apalagi ditunjang oleh faktor kemudahan untuk mendapatkan bahan baku kayu kolintang.
Kebanyakan pengrajin pengrajin kolintang di minahasa adalah pengrajin amatir,dimana alat musik kolintang di buat untuk di konsumsi group kolintang sendiri.

Petrus Kaseke,adalah pengrajin kolintang pertama yang memproduksi kolintang untuk tujuan komersial pada tahun 1964,sebagai mata pencaharian penunjang biaya hidupnya selama kuliah di UGM Jogjakarta.

Berbagai usaha dilakukan untuk membuat kolintangnya laku dan memuaskan konsumen,karena sebagai produsen kolintang pertama di Indonesia,pesaingnya bukan sesama pengrajin kolintang tetapi dengan alat musik lain yang bukan kolintang.

Pengembangan pertama adalah membuat wilayah nada (range) alat musik kolintang makin lebar dengan kata lain membuat not melody dengan nada setinggi mungkin dan membuat not bas kolintang mencapai nada yang serendah mungkin yang dapat dicapai oleh wilahan kolintang,dengan mencoba berbagai macam jenis kayu dan ukuran kayu wilahan(bagian atas yang di pukul).

Dari usaha pencariannya selama bertahun tahun mencoba berbagai jenis kayu ,mulai dari wilahan kayu kelapa,kayu aren,kayu wilahan sonokeling dan berbagai jenis kayu lainnya,akhirnya didapat kayu waru yang ideal untuk dijadikan wilahan kolintang.

Sekarang rentang wilayah nadanya sudah mendekati 6 oktaf(70 not),sebagai perbandingan rentang nada pada piano mendekati 8 oktaf(88 not).

Pengembangan kedua adalah membuat bunyi(resonansi)yang semakin baik,dengan pemilihan bahan maupun ukuran peti(resonator box)kolintang.Berbagai eksperimen dicoba dengan merubah rubah ukuran petinya,mulai dengan memanjangkan ,memendekan,meninggikan,menyekat bagian dalam peti,mengisi dengan bahan kedap suara dan usaha usaha lainnya.,sampai didapat ukuran peti yang ideal.Tidak berhenti sampai disitu,pemukul kolintang(sticks) dijadikan sasaran eksperimennya,dengan cara memanjangkan,memendekan,merampingkan,mencoba memasangkan bagian kepala(head stick),dengan aneka jenis karet dan variasi ketebalannya.Sama halnya dengan karet pemukul,karet alas wilahan yang asalnya terdiri dari rangkaian karet gelang,sudah dimodifikasi dengan karet kaca mobil yang lebih awet.

Pengembangan ketiga dengan membuat kolintang mudah di pindah pindahkan,dengan tanpa mengurangi kwalitas suara,dengan membuat kolintang lebih ringkas dengan sistim knockdown ,serta ukuran peti yang dibuat sedemikian rupa agar peti yang lebih kecil dapat dimasukkan kedalam peti yang lebih besar.Pemilihan jenis kayu yang lebih ringan dan ukuran peti yang disesuaikan dengan kendaraan angkutan juga merupakan pertimbangan,disamping asesories pelengkap seperti roda pada kaki kolintang dan handle untuk memudahkan mengangkat peti kolintang.

Pengembangan ke empat dengan membuat nada kolintang lebih akurat dan lebih stabil,dengan bantuan mesin oven kayu untuk penyesuaian kadar air yang mencapai kekeringan tertentu sehingga akurasi nadanya tidak mudah dipengaruhi cuaca.Untuk mendapatkan nada yang akurat selain dengan kepekaan telinga ,juga dibantu dengan alat tuner yang menggunakan sistim komputer.

Pengembangan kelima,membuat penampilan kolintang lebih bagus.Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan finishing yang bagus,dengan tidak sayang mengeluarkan biaya untuk kursus finishing.Sebetulnya ada banyak alternatif finishing alat musik ethnic asal minahasa ini,misalnya dengan finishing kayu batik,atau mengukir peti kolintang,tetapi Petrus Kaseke sampai saat ini lebih memilih finishing yang berkesan simple dan modern seperti pada finishing alat musik piano.

Pengembangan demi pengembangan terus dilakukan sepanjang waktu,bahkan sampai ke hal hal yang kelihatannya sepele,seperti penomoran nada pada wilahan kolintang,melamic wilahan kolintang,cover kolintang,serta sticker kolintang yang memudahkan Petrus Kaseke untuk mengenali kolintang produksinya saat “after sales servis” dan perbaikan alat musik kolintang.

Tantangan selanjutnya yang sedang diperjuangkan adalah membuat kolintang lebih mudah di tune(di stem/diselaraskan nadanya),sehingga pemain kolintang dapat menyelaraskan nada kolintang tanpa bantuan tenaga tuner khusus,seperti halnya menyetem guitar.Yang terjadi sekarang ini,diperlukan kombinasi seorang tukang kayu yang mempunyai tenaga kuat dan seorang pemusik yang mempunyai telinga peka untuk menyelaraskan nada.kolintang.

Harapannya yang besar adalah, membuat kolintang sebagai alat musik Indonesia yang dapat menyebar ke seluruh dunia sebagai alat musik yang popular seperti halnya guitar dan piano,dan dapat di produksi secara massal.Sebagai market leader,produk kolintang Petrus kaseke banyak ditiru oleh pengrajin pengrajin kolintang yang lain.Bahkan lucunya dikota Salatiga Jawa Tengah tempat Petrus Kaseke menetap,beberapa pengrajin kolintang juga menggunakan nama Petrus,bahkan tempat tinggal yang dahulu pernah dihuni Petrus Kaseke,disewa oleh pengrajin kolintang yang lain demi mendapatkan order nyasar.

Petrus Kaseke tidak terlalu memusingkan diri dengan hal hal persaingan usaha tersebut,yang penting terus berkarya mengembangkan kolintang dengan lebih baik.Dengan berjalannya waktu, beberapa pengrajin kolintang yang hanya ikut ikutan mulai gulung tikar atau banting usaha menjadi pengrajin meubel atau industri lainnya.Tak terasa waktu sudah berjalan 57 tahun,sejak Petrus Kaseke (67 th)pertama kali membuat alat musik kolintang,hingga sekarang masih belum berhenti mengembangkan kolintang dan bahkan belum pernah berpaling ke bidang usaha lainnya.Untuk kesetiaan keuletan,dedikasi yang tinggi terhadap pengembangan alat musik kolintang pantaslah kalau Petrus Kaseke dijuluki sebagai Empu Kolintang Indonesia.

Oleh: Markus SugiTgl 28 Mei 2009

Kolintang, alat musik Minahasa yang mendunia

Kolintang, alat musik Minahasa yang mendunia

Alat musik kolintang termasuk jenis instrument perkusi yang berasal dari Minahasa Sulawesi Utara.
Alat musik itu disebut kolintang karena apabila di pukul berbunyi : Tong-Ting –Tang.
Pada mulanya kolintang hanya terdiri dari beberapa potong kayu yang diletakkan berjejer diatas kedua kaki pemain yang duduk selonjor di lantai.dan dipukul pukul.
Fungsi kaki sebagai tumpuan bilah bilah kayu(wilahan/tuts) kemudian diganti dua potong batang pisang atau dua utas tali.
Konon penggunaan peti resonator sebagai pengganti batang pisang mulai di gunakan sesudah Pangeran Diponegoro di buang ke Menado (tahun 1830) yang membawa serta “gambang” gamelannya.

Penggunaan kolintang erat hubungannya dengan kepercayaan rakyat Minahasa,yang biasanya dipakai dalam upacara upacara pemujaan arwah arwah para leluhur.
Dengan berkembangnya agama Kristen yang di bawa oleh misionaris misionaris Belanda,eksistensi kolintang yang merupakan bagian dari kepercayaan animisme menjadi demikian terdesak bahkan hampir punah,menghilang selama lebih dari 50 tahun.
Setelah perang Dunia II,kolintang muncul kembali dipelopori oleh Nelwan Katuuk, seniman tuna netra asal Minahasa bagian utara yang merangkai nada kolintang menurut skala diatonis.

Pada tahun 1952,di Minahasa bagian selatan (Ratahan) seorang anak berusia 10 tahun bernama Petrus Kaseke,terinspirasi membuat kolintang dengan dasar petunjuk orang orang tua yang pernah melihat kolintang dan dari mendengar suara musik kolintang yang di populerkan lewat siaran RRI Minahasa yang di mainkan oleh Nelwan Katuuk.
Sulitnya hubungan transportasi antara Minahasa bagian utara dengan Minahasa bagian selatan pada waktu itu tidak meluruhkan semangat putra pendeta Yohanes Kaseke dan almarhum Adelina Komalig untuk berkreasi tanpa melihat contoh, dengan bermodal potongan potongan kayu bakar yang diletakkan di atas dua batang pisang dan di tuning (stem) nada natural dengan rentang nada 1 oktaf.

Sebuah prestasi yang luar biasa jika pada tahun 1954 ,Petrus Kaseke yang kala itu masih terbilang bocah mampu membuat kolintang dua setengah oktaf nada diatonis dengan peti resonator.Kemampuannya terus terasah dan berkembang,terbukti pada tahun 1960 berhasil meningkatkan rentang nada menjadi tiga setengah oktaf yang dimainkan oleh dua orang pada satu alat.

Bersamaan dengan bea siswa dari Bupati Minahasa untuk meneruskan kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tahun 1962,suami dari Tjio Kioe Giok terus mengembangkan alat musik kolintang dengan mengganti jenis jenis kayu wilahan yang ada di Minahasa seperti kayu Telur,Bandaran,Wenang ,Kakinik dengan kayu yang ada di pulau Jawa yang menghasilkan kwalitas nada yang sama yaitu kayu Waru.
Kolintang mulai diproduksi secara komersial pada tahun 1964,sambil dipopulerkan melalui pentas pentas kolintang keliling Jawa Tengah ,Jawa Timur dan Jawa Barat,dengan membentuk kelompok musik

Waktu terus berlalu,usaha dari bapak dua anak Leufrand Kaseke dan Adelina Kaseke semakin berkembang.
Kelompok musik yang dibentuknya sudah pentas melanglang ke berbagai negara di dunia,
Mulai tahun 1972 hingga sekarang,ia tinggal Salatiga Jawa Tengah dan membangun usahanya,dimana bahan baku kolintang berupa kayu Waru mudah di dapatkan di sekitar Rawa Pening Salatiga.
Pemesanan dari luar negeri terus mengalir,antara lain dari Australia,China,Jepang,Korea,Hongkong,Swiss,Kanada,Jerman,Belanda,Amerika bahkan Negara Negara di Timur Tengah.
Hampir semua kedutaan besar Indonesia di dunia mengkoleksi alat musik kolintang buatan Petrus Kaseke.

Inovasi terus menerus dari Petrus Kaseke dan pengrajin kolintang lainnya sudah menempatkan kolintang setara dengan instrument musik moderen popular seperti gitar,biola ,piano,xylophone dan marimba.Sehingga agar dapat dikategorikan alat musik etnis tradisional, kolektor dan distributor alat musik etnis Asia dari Korea,harus memesan kolintang dengan desain yang khusus,yang lebih mengesankan kuno.
Jaman sekarang kolintang sudah merupakan alat musik yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia pada umumnya,dengan penyebarannya di sekolah sekolah,gereja dan perkumpulan lainnya,instansi instansi pemerintah juga seringnya festival festival dan lomba kolintang baik tingkat daerah maupun tingkat nasional ditambah pula era globalisasi dan internet membantu mempopulerkan kolintang keseluruh dunia.

( Markus Sugi)

Nusantara bermazmur