Pelopor kolintang di Tanah Jawa Petrus Kaseke meninggal dan
dimakamkan pada tanggal 17 Agustus 2022 di Bancaan Salatiga. Ia meninggal dalam
usia 80 tahun setelah mengatakan kata perpisahan :” Sudah ya, saya mau
istirahat.” di Rumah Sakit Telogorejo Semarang.
Tulisan ini untuk mengenang almarhum sebagai sosok pengajar
musik, pemimpin paduan suara dan pejuang kolintang yang tetap berkarya sampai
akhir hayatnya. Sebagai orang yang tinggal dengan beliau sejak kecil tentu
memiliki banyak kenangan dan pelajaran yang diambil dari keteladanannya. Bagi
saya Petrus Kaseke adalah guru sekaligus orang tua.
Petrus Kaseke lahir pada tanggal 2 oktober 1942 di Minahasa
Sulawei Utara. Masa kecil Petrus Kaseke banyak berhubungan dengan musik dan
lagu-lagu karena orangtuanya Yohanes Kaseke adalah seorang pendeta gereja
Pantekosta.
Meskipun berasal dari keluarga ningrat karena kakek buyutnya
yang bernama Petrus Kaseke juga, menikah
dengan putri raja Ratahan Dotu Maringka, tetapi bukan hal itu yang
membanggakannya. Hal yang paling dibanggakan adalah kakeknya yang seorang
tukang kayu yang diabadikan menjadi nama anak sulungnya yaitu Leufrand Kaseke.
Sedangkan nama almarhum ibunya Adeline Komalig dikenang menjadi nama anak
bungsunya Adeline Kaseke.
Petrus Kaseke adalah sosok perantau Minahasa yang mempunyai
keterikatan kuat dengan budaya asalnya. Darah Minahasanya seolah-olah
mengarahkan untuk menetap di kota Salatiga. Angka tiga dan kelipatannya adalah
angka favorit suku Minahasa sejak jaman kuno. Secara kebetulan Salatiga berasal
dari kata ‘sela tiga’ yang artinya tiga batu. Konsep tiga dan kelipatannya
dipakai untuk mengembangkan kolintang. Tangga nada kolintang yang mula-mula
almarhum ciptakan berupa 9 nada yaitu tangga nada diatonis (7 nada) ditambah nada Bb ( satu mol menurut istilah beliau)
dan nada F# ( satu kruis).
Sela tiga ini pula yang menjadi patokan penyelarasan nada
dalam pedagogi kolintang Petrus Kaseke.
Seumur hidupnya hanya usaha Kolintang Angklung yang
ditekuninya baik pada saat banyak permintaan untuk mensupply alat musik ,
maupun disaat resesi dan sepi order.
Dalam hal Angklung ,meskipun termasuk alat musik tradisional
dari Jawa, tetapi Petrus Kaseke memberi sentuhan Minahasa. Angklung chord
produksi Petrus Kaseke terlihat dari susunan tiga tabung yang menempatkan nada
dasarnya di antara dua tabung lainnya yang dikenal sebagai chord pembalikan
kedua, misalnya chord C dengan komposisi nada 5-1-3. Nada dasar di tengah
mengikuti konsep leluhur Minahasa Toar yang dari kata Tuur atau batang utama
yang merupakan pusat keseimbangan.
Aktifitas-aktifitas almarhum yang dilakukan di masa tuanya
sebelum pandemi:
-Pemimpin paduan suara Angklung Kolintang di gereja Bethany
Salatiga.
-Pengajar musik di sekolah Alkitab Magelang.
-Penasihat di Dewan Pengurus Daerah Pinkan (Persatuan Insan
kolintang Nasional) Jawa Tengah.
Di akhir
hayatnya almarhum masih aktif bermain kolintang bahkan bersama dengan
cucu-cucunya mengikuti lomba virtual kolintang, kegiatan yang biasa dilakukan
selama pandemi Covid.
Petrus Kaseke merupakan pengrajin kolintang yang produksinya
banyak tersebar di nusantara bahkan
seluruh dunia. Tidak heran apabila pemerintah Provinsi Jawa Tengah
memberikan sertifikat penghargaan sebagai inisiator dan Tokoh Pengembangan
Musik Kolintang di Tanah Jawa.
Petrus Kaseke kini telah meninggalkan kita. Saya bersyukur
mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dari almarhum dan bersama-sama
menuangkan dalam buku yang unik tentang Kolintang Minahasa.
Oleh: Markus Soegiarto.
Penulis adalah pemain dan pengajar kolintang yang bersama
dengan Petrus Kaseke mengarang buku Maimo Kumolintang.
No comments:
Post a Comment