Jun 7, 2010
Indonesian National Orchestra: Orkestra Musik Tradisional Pertama Dunia Mei 21, 2010
Indonesia memiliki orchestra musik tradisional pertama di dunia. Bila di Barat sudah ratusan tahun memiliki musik orkestra modern yang digunakan hingga sekarang ini, di Timur lahir orkestra musik tradisional yang diwakili dari seluruh wilayah Indonesia. Orkestra musik tradisional ini tergabung dalam Indonesian National Orchestra (INO) .
“Bila dalam ujicoba orchestra musik tradisional ini berhasil, kita akan menjadi negara pertama di dunia yang memiliki national orchestra yang berbeda dengan orchestra musik umumnya selama ini yang bersumber dari barat,” kata Franky Raden, pimpinan INO saat latihan di gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta, 4 Mei 2010.
INO melakukan pertunjukan perdana sebagai ujicoba performance mereka di Balairung Gedung Sapta Pesona Jakarta pada 12 Mei 2010. Dalam pegelaran musik tradisional yang difasilitasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) ini dihadiri para musikus kreatif termasuk para maestro musik tradisional di Indonesia.
Menurut Frangky, ada tiga hal yang mendasari berdirinya INO , yakni estetika, bisnis dan politik. Dalam hal estetika, Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya musik hampir tidak terbatas. Ragam bahasa musik Nusantara telah berkembang selama sedikitnya 3.000 tahun sehingga mampu menghasilkan bentuk-bentuk estetika musik yang sangat kokoh di wilayah budaya kita dari Sabang hingga Merauke.
Dengan kekayaan bahasa estetika ini akan membuat karya musik Indonesia tak pernah kering dan selalu membawa pembaharuan. “Kekayaan bahasa estetika ini menjadi sumber dari lahirnya INO yang ke depan siap bersaing di panggung internasional dengan orchestra ternama manapun,” kata Franky yang dikenal sebagai Etnomusikolog .
Dari segi bisnis, INO akan menjadi produk budaya khas Indonesia yang memiliki nilai jual dan ekspor sangat tinggi karena keunikannya. Dengan nilai jualnya ini INO diharapkan menjadi sebuah orkestra profesional yang dapat menghidupi para pemainnya secara financial. Selain itu INO juga akan bekerja keras untuk menjadi produk unggulan industri kreatif Indonesia yang dapat bersaing di pasar musik internasional.
“Saya berharap INO menjadi wadah bagi para pemusik Indonesia yang kreatif dan jenius untuk tampil berlaga dalam gedung-gedung konser yang bertebaran di benua Eropa, Amerika, dan Asia-Pasifik,” katanya.
Sementara dari segi politik, INO akan menjadi ujung tombak pergulatan ideologi antara pelbagai negara di dunia yang saat ini berlomba-lomba menyebarkan pengaruh kekuasaan dan hegemoni mereka melalui produk-produk budaya yang merupakan soft power. Seperti apa yang dikatakan oleh Immanuel Wallerstein jauh-jauh hari, kegiatan budaya dewasa ini sudah menjadi arena dari pertarungan ideologi di panggung internasional.
Melalui kegiatan budaya inilah negara-negara yang kuat menjaring lawan-lawan mereka untuk masuk ke dalam kerangka pemikiran ekonomis maupun politik yang dapat mereka kendalikan. Dalam konteks kehidupan masyarakat paska-kolonial, negara yang tidak memiliki kekuatan resistensi terhadap pertarungan budaya global ini akan mudah menjadi mangsa yang tanpa daya. “Keberadaan INO ingin memposisikan diri sebagai bentuk pertahanan dan perlawanan terhadap kekuatan dominasi dari luar yang setiap saat siap membuat kita menjadi tergantung kepada mereka khususnya ketergantungan dari musikal dan budaya,” katanya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasaran Kembudpar Noviendi Makalam merasa bangga dengan banyaknya musik tradisional Indonesia yang berhasil dilestarikan sehingga mengharumkan bangsa di berbagai pentas dunia. “Kehadiran INO jelas akan memberikan warna musik Indonesia di pentas dunia apalagi sajian musiknya menarik dan unik,” katanya.
Lebih dari 50 alat musik tradisional dari berbagai daerah di tanah air dimainkan dalam acara pegelaran tersebut. Dari alat musik tradisional itu juga ditampilkan alat musik hasil ciptaan sendiri oleh tiga orang local genius, yakni Anusirwan (Sumatera Barat) yang membuat rebab besar dan perangkat perkusi metalofon baru, Bona Alit (Bali) yang membuat rebab raksasa, dan I Nyoman Windha (Bali) membuat jegog raksasa.
Sumber: Budpar
Kolintang dalam Indonesia National Orchestra.
Pada tanggal 21 Mei 2010 ,dipertunjukan Musik Orchestra yang unik dan pertama kalinya di gedung Sapta Pesona Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Orchestra tersebut menggunakan alat alat musik tradisional dari seluruh tanah air Indonesia. Sebagai alat musik dari Sulawesi Utara kolintang juga ikut berpartisipasi dalam Indonesia National Orchestra.
Personal kolintang dalam Indonesia National Orchestra diwakili oleh dua orang dari Group Kolintang Petrus Kaseke,yaitu Liza Markus (siswa sekolah musik YPM) dan Markus Sugi (seniman otodidak) yang dengan bangga mendapat kepercayaan untuk berperan serta menampilkan alat musik Minahasa(Sulawasi Utara).
Kolintang memegang peranan penting didalam orchestra tersebut,karena kolintang dapat merangkap dua fungsi dalam alat musik,yaitu fungsi melodis maupun fungsi ritmis(sebagai alat perkusi),dibandingkan dengan alat musik kendang yang tidak dapat memainkan fungsi melodis,atau rebab yang sulit memainkan fungsi ritmis.
Permainan kolintang dipadu bersama dengan alat musik lain dengan menggunakan partitur, setara dengan fungsi alat musik marimba dalam orchestra barat.
Alat musik kolintang yang dipilih adalah melody kolintang(Ina Esa) yang mempunyai range nada 3.5 oktaf serta kolintang 2 dengan oktaf yang lebih rendah( Karua ) yang dengan kreatif digabungkan dengan cello (sela) oleh Liza Markus demi mendapatkan range nada yang mencukupi.
Pertunjukkan pertama Indonesia National Orchestra,mendapat perhatian dari tokoh musik Indonesia,artis dan pengamat musik Indonesia seperti Guruh Soekarno Putra,Adie M.S, Dwiki Dharmawan,Christine Hakim,Bagito,Bens leo dll.
Rencana Indonesia Nartional Ochestra mengadakan tour Australia th2011 dan Eropa th2012,sekiranya event event serupa ini dapat membuat kolintang lebih dikenal lagi di seluruh dunia.
By: Markus Sugi
http://facebook.com/kolintang
Feb 21, 2010
Karakteristik angklung 5M + 1M
Daeng Soetigna adalah tokoh angklung modern yang pada tahun 1938 berhasil membuat angklung diatonis yang digubahnya dari angklung tradisional pentatonis.
Menurut Daeng Soetigna angklung memiliki karakteristik-karakteristik unik yang membuatnya mampu bertahan meskipun berasal dari kesenian tradisionil. Karakteristik tersebut diutarakan oleh Daeng Soetigna dengan sebutan 5M, yaitu:
1 Mudah: tidak diperlukan teknik yang sulit untuk dapat memainkan angklung
2 Murah: dibandingkan alat musik modern yang lain seperti guitar atau piano.
3 Menarik:keunikannya membangkitkan perhatian terhadap musik
4 Mendidik: mengajarkan kerjasama,disiplin,ketangkasan
5 Massal: cocok dimainkan oleh banyak orang.
Dengan karakteristik diatas,tidak mengherankan apabila angklung menjadi terkenal di seluruh dunia,bahkan alat musik angklung diusulkan masuk daftar warisan budaya dunia.
Namun dipandang dari sisi produsen sejalan dengan meningkatnya popularitas angklung,karakteristik 5M (mudah,murah,menarik,mendidik,massal) tidak cukup memuaskan konsumen.Konsumen tidak puas dengan hanya unik dan menarik dari segi penampilan saja,tetapi juga menuntut 1 “M” lagi yaitu mutu,baik mutu suara maupun keawetan alat musik.
Suara yang di tune dengan akurat diperlukan untuk berkolaborasi dengan alat musik modern yang lain.
Untuk mendapatkan “M”(mutu) yang satu ini diperlukan kerja ekstra yang menyita biaya dan waktu yaitu:
-perlu lebih memperhatikan proses pengeringan bahan bambu untuk angklung.
-perlu melakukan proses sortir terhadap tabung tabung angklung yang bersuara kurang nyaring.
-perlu melakukan proses double tuning,pertama dengan alat tuning computer,kedua di tuning secara manual dengan kepekaan pendengaran.
Sebaliknya dari sisi lain lagi,beberapa orang yang awam masih belum dapat membedakan antara angklung untuk souvenir dan angklung sebagai alat musik,yang perbandingan harga diantara keduanya cukup jauh.
By: LM
Menurut Daeng Soetigna angklung memiliki karakteristik-karakteristik unik yang membuatnya mampu bertahan meskipun berasal dari kesenian tradisionil. Karakteristik tersebut diutarakan oleh Daeng Soetigna dengan sebutan 5M, yaitu:
1 Mudah: tidak diperlukan teknik yang sulit untuk dapat memainkan angklung
2 Murah: dibandingkan alat musik modern yang lain seperti guitar atau piano.
3 Menarik:keunikannya membangkitkan perhatian terhadap musik
4 Mendidik: mengajarkan kerjasama,disiplin,ketangkasan
5 Massal: cocok dimainkan oleh banyak orang.
Dengan karakteristik diatas,tidak mengherankan apabila angklung menjadi terkenal di seluruh dunia,bahkan alat musik angklung diusulkan masuk daftar warisan budaya dunia.
Namun dipandang dari sisi produsen sejalan dengan meningkatnya popularitas angklung,karakteristik 5M (mudah,murah,menarik,mendidik,massal) tidak cukup memuaskan konsumen.Konsumen tidak puas dengan hanya unik dan menarik dari segi penampilan saja,tetapi juga menuntut 1 “M” lagi yaitu mutu,baik mutu suara maupun keawetan alat musik.
Suara yang di tune dengan akurat diperlukan untuk berkolaborasi dengan alat musik modern yang lain.
Untuk mendapatkan “M”(mutu) yang satu ini diperlukan kerja ekstra yang menyita biaya dan waktu yaitu:
-perlu lebih memperhatikan proses pengeringan bahan bambu untuk angklung.
-perlu melakukan proses sortir terhadap tabung tabung angklung yang bersuara kurang nyaring.
-perlu melakukan proses double tuning,pertama dengan alat tuning computer,kedua di tuning secara manual dengan kepekaan pendengaran.
Sebaliknya dari sisi lain lagi,beberapa orang yang awam masih belum dapat membedakan antara angklung untuk souvenir dan angklung sebagai alat musik,yang perbandingan harga diantara keduanya cukup jauh.
By: LM
Feb 19, 2010
The Origin of African Xylophones from Indonesia?
Contemplating the Origin of African Xylophones
While the xylophone is the most prominent instrument among the Chopi, they also use drums (Ncinga and Ngoma cikulu), idiophones, chordophones (such as the chizambi musical bow), and aerophones (ocarinas). The historical distribution of xylophones in Africa is not very well understood, partially because of the tentative and conflicting evidence for its cultural and geographic origins. Xylophones in Africa are most abundantly found in West Africa above 15 degrees N latitude, and Eastern and Southern Africa between 5 and 12 degrees S latitude, though they are also very common in Central Africa. While the origins of xylophones in Africa remain unknown, some theorists have argued that they are indigenous to the continent (Ankermann), while others have proposed that they were brought over from Indonesia (Kunst and Hornbostel).
It has been suggested that Portuguese trade ships may have transported the concept of xylophones from Indonesia, however an account from an early Arabic traveler identifies xylophones in Niger in 1352 A.D., predating the arrival of the Portuguese by at least 300 years (Jones 1964:148). Historians speculate that Indonesians settled in Mozambique around 500 ce, based upon evidence of their settlement in other large river valleys in Africa (Mozambique 2004). This makes a very strong case for the potential influence of Indonesian musical practices and instrumental resources in Mozambique. A.M. Jones is one theorist who has written extensively on this connection, and has argued that several common musical characteristics demonstrate this cultural relationship, including the equiheptatonic tuning of the Chopi timbila (1964). As mentioned earlier, the size of Chopi xylophone ensembles is unique amongst African xylophone traditions, which represents another possible connection to Indonesia, along with the highly orchestrated Ngodo dance dramas similar to Gamelan shadow puppet dramas. It is however, important to distinguish between influences and origins, as the latter is extremely difficult to pin down and can become overshadowed by accounts of the former. Thus while xylophone practices in southern and eastern Africa have almost certainly been influenced by Indonesian travelers and settlers, they may have originated on the continent, and have undoubtedly been developed according to a deeply African musical sensibility.
The lamellophone is another instrument that is widely dispersed throughout southern, central, and eastern Africa, and has been linked to the development of xylophones in several different studies. Gerhard Kubik, in an examination of the origins of the lamellophone, finds that among several peoples in central, eastern, and southern Africa, the word stems for lamellophones and xylophones are the same (1999:24). He takes this line of inquiry further, suggesting that the similarity of terms demonstrates local associations between instruments, and that xylophones and lamellophones in fact developed in conjunction with each other (Kubik 1999:25). Thus the lamellophone is not an evolution of the xylophone or vice versa, but rather the lamellophone emerged in various areas of Africa through trade and invention, and was consequently developed through many of the same musical concepts used on xylophones. A similar connection was drawn by A.M. Jones earlier (though with less extensive evidence) when he argued that lamellophones originated from xylophones in the southeastern region of Africa, citing similarities in tuning systems, as well as linguistic commonalities in the terms used to describe them (Jones 1964:34). Hugh Tracey has brought this line of thinking to bear on the music of the Chopi, arguing that the Chopi timbila have an identical tuning to the nijari lamellophone of the Karanga people of Southern Rhodesia, who lived with the Chopi approximately 500 years ago (Tracey 1948:123).
From:UCLA Ethnomusicology Archive
http://www.ethnomusic.ucla.edu
While the xylophone is the most prominent instrument among the Chopi, they also use drums (Ncinga and Ngoma cikulu), idiophones, chordophones (such as the chizambi musical bow), and aerophones (ocarinas). The historical distribution of xylophones in Africa is not very well understood, partially because of the tentative and conflicting evidence for its cultural and geographic origins. Xylophones in Africa are most abundantly found in West Africa above 15 degrees N latitude, and Eastern and Southern Africa between 5 and 12 degrees S latitude, though they are also very common in Central Africa. While the origins of xylophones in Africa remain unknown, some theorists have argued that they are indigenous to the continent (Ankermann), while others have proposed that they were brought over from Indonesia (Kunst and Hornbostel).
It has been suggested that Portuguese trade ships may have transported the concept of xylophones from Indonesia, however an account from an early Arabic traveler identifies xylophones in Niger in 1352 A.D., predating the arrival of the Portuguese by at least 300 years (Jones 1964:148). Historians speculate that Indonesians settled in Mozambique around 500 ce, based upon evidence of their settlement in other large river valleys in Africa (Mozambique 2004). This makes a very strong case for the potential influence of Indonesian musical practices and instrumental resources in Mozambique. A.M. Jones is one theorist who has written extensively on this connection, and has argued that several common musical characteristics demonstrate this cultural relationship, including the equiheptatonic tuning of the Chopi timbila (1964). As mentioned earlier, the size of Chopi xylophone ensembles is unique amongst African xylophone traditions, which represents another possible connection to Indonesia, along with the highly orchestrated Ngodo dance dramas similar to Gamelan shadow puppet dramas. It is however, important to distinguish between influences and origins, as the latter is extremely difficult to pin down and can become overshadowed by accounts of the former. Thus while xylophone practices in southern and eastern Africa have almost certainly been influenced by Indonesian travelers and settlers, they may have originated on the continent, and have undoubtedly been developed according to a deeply African musical sensibility.
The lamellophone is another instrument that is widely dispersed throughout southern, central, and eastern Africa, and has been linked to the development of xylophones in several different studies. Gerhard Kubik, in an examination of the origins of the lamellophone, finds that among several peoples in central, eastern, and southern Africa, the word stems for lamellophones and xylophones are the same (1999:24). He takes this line of inquiry further, suggesting that the similarity of terms demonstrates local associations between instruments, and that xylophones and lamellophones in fact developed in conjunction with each other (Kubik 1999:25). Thus the lamellophone is not an evolution of the xylophone or vice versa, but rather the lamellophone emerged in various areas of Africa through trade and invention, and was consequently developed through many of the same musical concepts used on xylophones. A similar connection was drawn by A.M. Jones earlier (though with less extensive evidence) when he argued that lamellophones originated from xylophones in the southeastern region of Africa, citing similarities in tuning systems, as well as linguistic commonalities in the terms used to describe them (Jones 1964:34). Hugh Tracey has brought this line of thinking to bear on the music of the Chopi, arguing that the Chopi timbila have an identical tuning to the nijari lamellophone of the Karanga people of Southern Rhodesia, who lived with the Chopi approximately 500 years ago (Tracey 1948:123).
From:UCLA Ethnomusicology Archive
http://www.ethnomusic.ucla.edu
Feb 18, 2010
STANDARISASI ALAT MUSIK KOLINTANG
Ketika acara pencatatan guiness book bulan oktober 2009 di Tondano,Petrus Kaseke di undang sebagai salah satu pembicara dalam forum tersebut.
Topik yang menjadi bahan pembicaraan antara lain asal usul nama kolintang dan pembagian nama alatnya.
1.Kejelasan asal usul nama Kolintang.
Karena ada beberapa versi tentang asal usul kolintang.Ada yang versi cerita rakyat tentang seorang gadis yang bernama Lintang,ada lagi versi cerita rakyat yang lain bahwa alat musik kolintang ditemukan oleh seorang pemuda ditengah hutan.
Pendapat Petrus Kaseke pribadi mengenai nama kolintang berasal dari bunyi kayu yang dipukul menghasilkan suara “tong ting tang.”
Kalau dilihat dari bahannya kolintang adalah alat musik jenis xylophone, yang asal usulnya satu akar dengan gambang dari jawa,atau kelentung(alat musik perkusi dari bilah kayu yang sudah disebutkan di dalam Kitab Suci sebagai alat musik pada jaman raja Daud).
Di Philipina dikenal pula alat musik pukul sejenis gamelan ,dengan nama yang mirip yaitu "kulintang".
2.Mengenai pembagian nama alat ,ada 3 versi yang umum digunakan.
Petrus kaseke menamakan alat alat kolintang berdasarkan karakteristik suara dan rentang nada:
1.Melody sebagai penentu lagu
2.Alto sebagai pengiring (accompanion) bernada tinggi
3.Tenor sebagai pengiring (accompanion) bernada rendah
4.Cello sebagai penentu irama dan gabungan accompanion dengan bass
5.Bass sebagai penghasil nada nada rendah.
Alasan pemberian nama diambil dari pengalamannya memimpin paduan suara dimana suara perempuan yang tinggi dan suara laki laki yang lebih rendah dibagi menjadi : sopran,alto,tenor dan bass.
Evert van lesar : dari Ikatan Pelatih Musik Kolintang Jakarta pada tahun 1996 mempopulerkan nama nama alat kolintang yang menggali dari bahasa daerah di Minahasa seperti:
Melody= Ina taweng artinya “ibu”
Tenor = Karua artinya "kedua”
Alto = katelu artinya “ketiga”
Cello = sella
Bass = loway artinya “anak laki laki yang berbadan besar”
Penamaan alat kolintang versi lainnya adalah dengan substitusi dari alat musik yang sudah ada.
Tenor = gitar ( dengan wilayah nada yang di tone sepadan dengan senar gitar terendah dan tertinggi)
Alto = Banjo (ukulele)
Untuk dapat bersaing di dunia Internasional,diperlukan standarisasi penamaan maupun standarisasi ukuran kolintang. Hasil dari pertemuan di Tondano waktu GuinessWorldRecord(Oktober 2009),ada kesepakatan dibuat standarisasi yang bisa diterima oleh “semua kalangan”.
Sebagai perbandingan, pembagian alat musik lain yang sudah popular antara lain:
Saxophone ada jenis alto saxophone,tenor saxophone.
Marimba : sopran marimba, alto marimba,bass marimba.
Biola: cello biola dan lain sebagainya.
Seperti apapun standarisasi yang akan ditetapkan,”Angklung KolintangPetrus Kaseke” sudah siap menerima,karena sebetulnya Petrus Kaseke sudah memiliki prototypenya baik kolintang model Manado yang kecil kecil(type kid kolintang),atau standar IPMKJ(type pro),maupun standar produksi Petrus Kaseke(type Internasional).
By: Markus Sugi.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Daeng Soetigna adalah tokoh angklung modern yang pada tahun 1938 berhasil membuat angklung diatonis yang digubahnya dari angklung tradisiona...
-
Link ini https://www.youtube.com/watch?v=FSDTQXK9jds adalah video pemain perkusi bernada memainkan lagu klasik yang temponya cepat, The...
-
Selama melayani pembeli kolintang,saya sering menghadapi pertanyaan pertanyaan tentang perbandingan kwalitas suara bilahan kayu Waru deng...